Perempuan berkebaya encim berwarna hijau itu menoleh kepadaku dari kursi anyaman plastiknya yang berkeriut rapuh. Tampak sekali bahwa kedatanganku telah mengalihkan pandangannya dari pohon cincau tua yang tumbuh di halaman lapang.Bila kupikir-pikir, keberadaan pohon itu sendiri adalah sebuah keajaiban; suatu jenis ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas pepohonan karet yang tertancap kokoh di tanah pedesaan ini. Sebuah rumah antik berdinding bilik nan apik dengan sentuhan cat putih berdiri di belakangnya. Kabel-kabel menjuntai yang merepet di sela-sela atap menjadi ornamen yang cukup kontras.
Aku memang berharap mendapati dirinya seperti ini. Rupanya, ia telah menempatkan kursinya dengan hati-hati di depan pohon cincau kesayangannya itu, kemudian duduk tafakur memandangi daun-daun hijaunya yang melambai lemah diterpa angin musim panas. Pikirannya tenggelam ke masa-masa silam; masa di mana akar-akar kuat pohon cincau merambat jauh dalam tanah, hingga menembus lantai tanah ruang tamu rumah. Aku ingat bahwa akar-akar mengganggu itu telah ditebas dan tanahnya diuruk rapat dengan semen, saat renovasi rumah lama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar