tag:blogger.com,1999:blog-19261184173179918962024-02-20T14:02:30.705-08:00karangan cerpen anak remajakekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.comBlogger22125tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-52525166096494274872011-02-14T20:50:00.001-08:002011-02-14T20:50:50.634-08:00UNSUR PUISIUnsure-unsur intrinsik puisi adalah <br />
1. Tema yaitu tentang apa puisi itu berbicara <br />
2. Amanat yaitu apa yang hendak dinasehatkan kepada pembaca <br />
3. Rima yaitu persamaan-persamaan bunyi <br />
4. Ritme yaitu perhentian-perhentian atau tekanan-tekanan yang diatur <br />
5. Majas atau gaya bahasa yaitu permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi<br />
6. Kesan yaitu perasaan yang diungkap lewat puisi<br />
7. Diksi yaitu pilihan kata atau ungkapan<br />
1. Tema yaitu tentang apa puisi itu berbicara<br />
2. Amanat yaitu apa yang hendak dinasehatkan kepada pembaca<br />
3. Rima yaitu persamaan-persamaan bunyi<br />
4. Ritme yaitu perhentian-perhentian atau tekanan-tekanan yang diatur<br />
5. Majas atau gaya bahasa yaitu permainan bahasa untuk efek estetis maupun maksimalisasi<br />
6. Kesan yaitu perasaan yang diungkap lewat puisi<br />
7. Diksi yaitu pilihan kata atau ungkapan<br />
<div style="background-color: transparent; border: medium none; color: black; overflow: hidden; text-align: left; text-decoration: none;"><br />
Lebih lanjut tentang: <a href="http://id.shvoong.com/humanities/arts/2050696-pengertian-puisi/#ixzz1E03rTPL2" style="color: #003399;">Pengertian Puisi</a> </div>kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-14160582676640089802011-02-14T20:48:00.001-08:002011-02-14T20:48:44.772-08:00ANAK REMAJA SEKARANGCiuman pertamaku<br />
masih kausimpan di lekuk bibirmu<br />
malumalu getaran itu<br />
anggun melewati rimba waktu<br />
mengisi rongga dada dengan hangat kelambu<br />
melebihi kelepak matahari pada birahi<br />
senja yang ungu.<br />
Limabelas tahun berlalu<br />
ciumanku masih menghias senyummu<br />
biarkan di sana, aku memintamu tak menghapusnya<br />
sebab di sanalah kuarungi samudera kenangan<br />
di pantaimu aku terdampar. Melebihi kelepak camar<br />
setia menyamar sebagai waktu.<br />
Aku menyebutnya cinta.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-1195107072315584262011-02-14T20:47:00.003-08:002011-02-14T20:47:56.445-08:00CINTAKU TERHALANG OLEH WAKTUAku mencintaimu melebihi segala batas<br />
tak cukup daratan berbatas pantai<br />
Cintaku luap samudera. Luas membentang permadani biru<br />
Gelombang dengan gairah ekstra, O indahnya gemuruh<br />
tempat kita layarkan kenangan demi kenangan.<br />
Seluruh rindumu kutampung dalam teluk<br />
pelukanku, dalam liuk lengan-lengan ombak, arus sajakku<br />
yang sejuk membimbingmu ke laguna: sukmaku.<br />
Aku mencintaimu melampaui matahari<br />
bukan cakrawala berbatas senja temaram<br />
Cintaku doa pagi dan di langit malam<br />
mengerjap sebagai bintangbintang. Adalah jejakjejak galaksi<br />
berarak di angkasa, berkilap dalam munajatku.<br />
Lembut ombak memainkan butirbutir cahaya<br />
pada pantulan bulan di matamu. Aku di situ<br />
berlayar tak kenal waktu.<br />
Cintaku melampaui bunyi dan sunyi<br />
ketika hujan berhenti dan sisakan dencing tetes akhir<br />
aku genangan yang diamdiam menghilang lalu<br />
mengalir sebagai sungai deras di hatimu.<br />
Mengisi urat nadimu dengan denyut jantungku<br />
Menulisi dadamu dengan goresan rindu dan asmara.<br />
Walau tak selalu bicara<br />
aku sarat aksara.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-67016019822173280972011-02-14T20:47:00.001-08:002011-02-14T20:47:13.701-08:00BANTU AKU CINTAKUBantu aku menulis kata cinta, sunyiku pada pena.<br />
Sebingkai meja berwarna coklat kelu dan berdebu<br />
seakan lautan kata yang beku dalam dingin suhu.<br />
Sepucuk kertas membentuk perahu, di layarnya teruntuk namamu.<br />
Pena itu kembali menggigil, menggoreskan kegelisahan:<br />
Aku cinta padamu. Hanya genangan tinta terbentuk<br />
seperti teluk<br />
melayarkan katakataku<br />
ke samudera peluk.<br />
Bantu aku menulis kata cinta dengan sinar matamu<br />
agar kutemukan nyala dalam unggun kata<br />
atau jadilah rembulan di rantingranting aksara<br />
mengganti tikaman gelap dengan romantika remang.<br />
Biarkan kuikatkan samarsamar cahayamu<br />
menyatukan sejuta kalimat dalam lembarlembar puisi.<br />
Lalu senyummu kujadikan majas<br />
Agar makna semakin jelas<br />
membebaskan cinta dari pernyataan<br />
yang tak pernah tuntas.<br />
Atau, jadilah kamu laut yang dalam dan biru<br />
mengganti kalimatku yang dangkal dan berbatu.<br />
Kuseberangi selat bibirmu, mengembara<br />
hingga palung jiwamu. Laguna yang teduh berangin<br />
Sebuah jalan setapak membelah ombak.<br />
Ombak di matamu.<br />
Zayyine, kukenali tulisan di matamu yang teduh<br />
dan gemuruh.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-80651607744518936272011-02-14T20:46:00.001-08:002011-02-14T20:46:25.921-08:00PUISI UNTUK KEKASIHKU<div class="desc">Cinta tak pernah kehabisan kata. Puisi cinta terus tercipta.</div><div style="margin: 12px; padding: 12px 0px 12px 12px;"> <div id="searchcontrol"> <form action="http://blogsearch.google.com/blogsearch" method="get"> <input maxlength="255" name="as_q" size="16" type="text" value="" /> <input name="sa" type="submit" value="Search" /> <input name="bl_url" type="hidden" value="http://www.puisiuntukkekasih.com" /> </form></div></div><div class="date">Minggu, 13 Februari 2011</div><h2 class="judulpuisi"><a href="http://www.puisiuntukkekasih.com/2011/02/13/algoritma-laut-dan-hujan/" rel="bookmark" title="Permanent Link to Algoritma Laut dan Hujan">Algoritma Laut dan Hujan</a></h2><div class="PostAuthor">Karya: Huda M Elmatsani</div><div style="text-align: justify;">Bila kau seumpama laut dan hujan, algoritma ini merelasikan ombak dan hujan: Ombak itu pelukan, hujan itu deras bisikan, dan gemuruh adalah dentum cinta yang tak henti menghantam dada, menghujamkan airmata ke penjuru semesta, menjelma kepakkepak camar yang menjaga samudera. Perahu itu aku.</div><div style="text-align: justify;">Di ujung tanjung, debar jantungmu melantunkan ombak. Jemarimu menggulung rindu. Di ujung kelambu kalbu, bermanja menghelai lembar demi lembar rambutmu seakan menyisir pantai. Pasir adalah kanvas perjalananku, tempat setiap jejak kucetak dengan sajak, jejak yang kauhimpun di lengan ombak: memelukku. Pantai itu aku, selalu rapat di sisimu.</div><div style="text-align: justify;">Hujan. Di sudut buku katakata berdesakan memasuki guguran hujan. Langit seakan berkilatan menggoreskan tanda seru. Cahaya menjelma gemuruh. Hujan membasuh unggun sajakku, mengeramas setiap aksara, menggenangi ruh huruf dengan bening airmata. Lalu tersisa sebagai butiran yang menetes di akhir paragraf. Dan di halaman berikutnya itu aku.</div><div style="text-align: justify;">Aku, yang selalu hanyut bersamamu.</div>kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-17610952635145303802011-02-14T20:44:00.001-08:002011-02-14T20:44:26.703-08:00SAJAK CINTALafal <a href="http://www.anggrekbiru.com/puisi-prosa/cinta-rindu/" title="cinta">cinta</a> terlipat rapi<br />
Dalam sunyi yg memelukku erat<br />
Aku ingin memaknai air mata<br />
Tapi dinding <a href="http://www.puisiku.net/tema-umum/rasaku.htm" title="rasaku">rasaku</a> telah beku<br />
Muara <a href="http://www.puisiku.net/tema-kesedihan/patah-hati-tema-kesedihan/hatiku-2.htm" title="hatiku">hatiku</a> telah gersang<br />
Aku lelah mencerna kata<br />
Serpih2 tetap saja terurai bisu<br />
Ada luka yg bertahta disana<br />
Tersudut brsama sketsa senyum rindu<br />
Yg kusebut itu cinta..kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-42479277093560167962011-02-14T20:42:00.001-08:002011-02-14T20:42:19.494-08:00ANTARA CINTA DAN PERSAHABATANAcara televisi sore ini tak satupun membuat aku tertarik. Kalau sudah begini aku bingung entah apa yang harus aku lakukan. Tio bersama Sany kekasihnya, sahabatku Ricky entah kemana? Mall, bioskop ataupun perpustakaan, bukan tempat yang aku suka, apalagi mesti pergi sendirian.<br />
mmm…Pantai.<br />
<a href="http://muhshodiq.wordpress.com/2009/07/19/cerpen-cinta-dan-persahabatan/woman-on-beach-looking-at-ocean/" rel="attachment wp-att-8428"><img alt="Woman on Beach Looking at Ocean" class="aligncenter size-large wp-image-8428" height="480" src="http://muhshodiq.files.wordpress.com/2009/07/beach-alone.jpg?w=348&h=480" title="Woman on Beach Looking at Ocean" width="348" /></a><br />
Ya pantai. kayaknya hanya pantailah, tempat yang mampu membuat aku merasa damai dan tak aneh jika aku pergi sendirian.<br />
Kuambil jaket, lalu kusamber kunci dan pergi menuju garasi. Kukendarai mobil mama yang nganggur di sana. Papa dan mama lagi keluar kota, jadi aku bisa keluar dan mengendari mobilnya dengan leluasa.<br />
Terik panas masih menyengat, walaupun waktu sudah menjelang sore. Namun tak membuat manusia-manusia di Ibukota berhenti beraktivitas meskipun di bawah terik matahari yang mampu membakar kulit. Jalan-jalan macet seperti biasanya. Dipenuhi mobil dari merek ternama ataupun yang sudah tak layak dikendarai.<br />
Lalu di depan kulihat pemandangan lain lagi. Pedagang kaki lima duduk lesu menunggu pelangannya.<br />
Krisis yang melanda membuat banyak orang hati-hati melakukan pengeluaran, bahkan untuk membeli jajan pasar.Walaupun tak seorang yang menghampirinya, namun dia tetap semangat menyapa orang-orang yang lewat dan akhirnya ada juga satu pembeli yang menuju arahnya.<br />
Sekilas kulihat orang itu kok mirip sekali dengan Ricky. Kugosok-gosok mataku, menyakinkan pandanganku. Kutepikan mobilku, lalu aku berhenti di tepi jalan itu. Dengan setengah berlari, aku mengejar sosok itu.<br />
Ah…kendaraan sore ini banyak sekali, sehingga membuat aku kesulitan untuk menyeberang jalan ini. Tapi akhirnya terkejar juga, dengan nafas tersengal-sengal, kujamah bahunya.<br />
“Ky!” seruku tiba-tiba, sehingga membuatnya terkejut.<br />
“Anda siapa?” tanya Ricky pura-pura tak mengenalku.<br />
“Ky. Sekalipun kamu jadi gembel , aku akan tetap menggenalmu.” jelasku mendenggus kesal.<br />
“Sudahlah, Sophia, jangan membuat aku terluka lagi.” tukasnya begitu sinis seraya beranjak pergi.<br />
“Ky…Ky…knapa kamu tak pernah mau mendengarkan penjelasanku!” teriakku sekeras-kerasnya. Namun bayangan Ricky semakin menjauh dan akhirnya tak kelihatan.<br />
***<br />
Ricky, Tio dan aku adalah sahabat karib dari kecil. Setelah tumbuh besar, aku tetap mengganggap Ricky adalah sahabat terbaikku, tapi Ricky punya rasa berbeda dari persahabatan kami. Yang aku cintai adalah Tio. Ini yang membuat Ricky menjauhiku. Tapi yang Tio cintai bukan aku, tapi Sany, teman sekelasnya.<br />
Cinta, sulit di tebak kapan dan di mana berlabuh!<br />
Banyak orang tak bisa terima, jika cintanya ditolak, tapi bukankah cinta tak mungkin dipaksa?<br />
Tak mendapatkan cinta Tio, tak membuatku menjauh darinya, tapi aku akan tetap menjadi sahabat baiknya. Walaupun ada sedikit rasa tidak puas, kadang rasa cemburu menganggu hati kecilku, saat kutahu untuk pertama kali, orang yang Tio cintai adalah orang lain.<br />
Aku harus bisa menerima keputusannya , walaupun terasa berat . Bukankah, kebahagian kita adalah melihat orang yang kita cintai hidup berbahagia, baik bersama kita atau tidak?<br />
Tapi tidak dengan Ricky, dia lebih memilih, meninggalkanku, mengakhiri persahabatan manis kami. Pergi dan aku tak pernah tahu kabarnya. Tapi apapun yang terjadi, aku akan selalu berharap suatu saat kami akan dipertemukan lagi.<br />
Karena bagiku, cinta dan persahabatan adalah dua ikatan yang sama. Ikatan yang tak satupun membuat aku bisa memilih satu diantaranya.<br />
***<br />
Sudah seminggu, setiap hari, aku datang kepersimpangan ini. Berharap bisa melihat sosok Ricky lewat disekitar sini lagi. Tapi, Ricky hilang bagai ditelan bumi. Aku hampir putus asa.<br />
Aku sudah capek menunggu, akhirnya aku bangun dan ingin beranjak pergi. Knapa tiba-tiba, indera keenamku, memberiku insting, kalau Ricky ada di sekitarku.<br />
Kubalikan kepala, kulihat sosok Ricky setengah berlari menyeberang jalan di belakang posisiku. Aku berlari menggejar sosok itu. Kuikuti dia dari belakang. Aku pingin tahu dimana dia berada sekarang.<br />
Akhirnya kulihat Ricky, masuk ke sebuah gang kecil, kuikuti terus , sampai akhirnya dia masuk ke sebuah rumah yang sangat sederhana.<br />
“Knapa Ricky lebih memilih hidup disini, daripada di rumah megah orangtuanya?”<br />
”Knapa dia, tinggalkan kehidupannya, yang didambakan banyak orang?”<br />
”Knapa semua ini dia lakukan?”<br />
“Knapa?”<br />
Banyak pertanyaan yang tiba-tiba muncul di kepalaku.<br />
Setelah dia masuk kurang lebih 10 menit, aku masih berdiri terpaku dalam lamunanku, dengan pertanyaan-pertanyan yang jawabanya ada pada Ricky. Aku dikejutkan suara seekor anak anjing jalanan, yang tiba-tiba menggonggong.<br />
Aku memberanikan diri memencet bel di depan rumahnya itu.<br />
“Siapa?” terdengar suara dari balik pintu.<br />
Aku diam, tak memberi jawaban. Setelah beberapa saat aku lihat Ricky pelan-pelan membuka pintu. Nampak keterkejutannya saat melihatku, berada di depannya.<br />
“Ky…boleh aku masuk?” tanyaku hati-hati.<br />
“Maukah kamu memberikan sahabatmu ini, segelas air putih.” ujarku lagi.<br />
Tanpa bicara, Ricky mengisyaratkan tangannya mempersilahkan aku masuk. Aku masuk keruangan tamu. Aku terpana, kulihat rumah yang tertata rapi. Rumah kecil dan sederhana ini ditatanya begitu rapi, begitu nyaman. Kulihat serangkai bunga matahari plastik terpajang di sudut ruangan itu.<br />
“Ricky, kamu tak pernah lupa, aku adalah penggagum bunga -bunga matahari.” gumanku.<br />
Dan sebuah akuarium yang di penuhi ikan berwarna-warni, rumput-rumput dari plastik dan karang-karang di dalamnya. Ricky tahu betul aku penggagum keindahan pantai dan laut. Walaupun hal-hal ini dulunya, setahuku, kamu tak menyukainya. Kulihat juga banyak foto persahabatan kami yang di bingkainya dalam bingkai kayu yang sangat indah, terpajang di dinding ruang tamu ini.<br />
Bulir-bulir air mataku, perlahan-lahan mulai tak mampu aku bendung. Aku benar-benar terharu dengan semua yang Ricky lakukan. Begitu besar cinta Ricky buatku. Kupeluk dia, yang aku sendiri tak tahu, apakah pelukan ini adalah pelukkan seorang sahabat ataupun sudah berubah menjadi pelukan yang berbeda?<br />
Ricky kaget, namun akhirnya dia membalas pelukanku, dan memelukku lebih erat lagi , seakan-akan ingin menumpahkan segala rindu yang sudah hampir tak terbendung dalam hatinya.<br />
Kami menghabiskan sore ini dengan berbagi cerita, pengalaman kami masing-masing selama perpisahan yang hampir 2 tahun lamanya dan akhirnya Ricky mengajakku makan, ke sebuah restoran kecil yang sering dikunjunginya seorang diri, di dekat rumahnya. Terdengar alunan tembang-tembang romatis , suasana hening, membuat kami terbuai dalam hangatnya suasana malam itu.<br />
***<br />
Sekarang Ricky sudah tahu, Tio sudah bersama Sany. Kami sekarang menjadi 4 sekawan. Sany juga telah menjadi anggota genk kami.<br />
Ternyata setelah aku mengenalnya lebih lama, Sany adalah sosok yang sangat baik hati, menyenangkan, ramah dan peduli dengan sahabat. Ah…menyesal aku tak mengenalinya lebih dalam sejak dulu.<br />
“Ky , biarlah semua berjalan apa adanya, mungkin cinta akan pelan-pelan muncul dari hatiku.” ujarku suatu hari, saat Ricky mengungkit masalah ini lagi.<br />
“Oke, aku akan selalu menunggumu. Sampai kapapun. Karena tak akan ada seorangpun yang mampu membuatku jatuh cinta . Hanya kamu yang mampu membuat aku damai, tenang dan bahagia.” jelasnya panjang lebar<br />
Sekarang aku memiliki tiga orang sahabat baik. Tak akan ada lagi hari-hariku yang kulalui dengan kesendirian, kesepian dan kerinduan.<br />
Hampir setiap akhir pekan, kami menghabiskan waktu bersama, ke pantai, ke puncak ataupun hanya sekedar berkaroke di rumah sederhana Ricky. Hidup dengan tali persahabatan yang hangat, membuat hidup semakin berarti dan lebih bahagia.<br />
***<br />
Waktu berjalan begitu cepat. Tiga tahun sudah berlalu. Kebaikan-kebaikan Ricky mampu membuat aku merasa butuh dan suka akan keberadaannya di sampingku. Rasa itu pelan-pelan tumbuh tanpa kusadari dalam hatiku.<br />
Aku jatuh hati padanya setelah melalui banyak peristiwa. Cinta datang, dalam dan dengan kebersamaan.<br />
Apalagi dengan sikap dan perbuatan yang ditunjukannya. Membuat aku merasa, tak akan ada cinta laki-laki lain yang sedalam cinta Riky.<br />
Sekarang Ricky bukan hanya kekasih yang paling aku cintai tapi juga seorang sahabat sejati dalam hidupku.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-76486577108551168822011-02-14T20:41:00.000-08:002011-02-14T20:41:04.602-08:00OMELAN MENYEBABKAN KEMATIAN<div class="entry"> <div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="IN">“Ayo, dong!! Kalau tak cepat kita bisa terlambat!”teriak Lucia kepada temannya, Eric. “Iya, tunggu bentar, tali sepatuku lepas, lagian kamu juga yang salah, bangun kok jam 6?” jawab Eric. Lucia malas menjelaskan, jadi ia hanya diam dan mendengus kesal. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Jangan banyak tanya, aku begadang ngerjain PR, tau!”jelas Lucia. Dan Eric pun selesai mengikat tali sepatunya yang lepas. Mereka berdua lari ke sekolah, dan sampai tepat sebelum bel berbunyi.</span><span lang="IN"> <span id="more-41"></span></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Untung enggak terlambat, kalau terlambat, bisa-bisa kita dimarahi guru piket yang galak itu!” ujar Lucia, lega. Eric hanya manggut-manggut, dia sedang memperhatikan teman baiknya sejak kecil itu.</span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Bagi Eric, Lucia sudah seperti saudaranya. Setiap hari pergi dan pulang sekolah bersama, belajar bersama. Tapi mereka tetap saja sering bertengkar karena masalah sepele. Dan biasanya Eric yang mengalah. Sebab dia tahu sifatnya Lucia, keras kepala namun baik hati dan bisa diandalkan.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Bel sekolah berbunyi, menandakan seluruh siswa SMP Tunas Bangsa dipersilahkan pulang, kecuali yang ada kegiatan ekskul di sekolah. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia dan Eric mengikuti ekskul Karate yang diadakan setiap hari Rabu sepulang sekolah. Lucia dan Eric sama hebatnya, sudah hampir mencapai “sabuk hitam” yang menjadi impian mereka. Guru pembina sangat salut pada mereka atas prestasi tersebut. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Pulang bareng lagi kan, Lucia?” tanya Eric. Lucia mengangguk sambil memukul pundak Eric. Eric langsung mengerti, itu artinya Lucia minta tunggu sebentar, kalau bukan ke toilet ya, mau jajan dulu. Setelah Lucia kembali, mereka pulang. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Rumah mereka bersebelahan, kedua orangtua mereka sudah berteman akrab. Ayah Lucia dan ayah Eric adalah rekan kerja, sedangkan kedu ibu mereka adalah teman sejak SD yang bertemu kembali ketika Eric pindah rumah ketika masih TK. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia mempunyai cita-cita, yaitu menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Dia ingin menjadi dokter gigi. Sedangkan Eric, mempunyai cita-cita menjadi dokter anak, atau guru olahraga. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Ya, Eric memang senang pada kekuatan fisik. Sedangkan Lucia menyukai fisik dan ilmu pengetahuan. Mereka menjadi saingan di kelas. Dalam pelajaran, mencari teman, bahkan dalam kekuaan fisik. Tapi sebenarnya, mereka saling menyayangi seperti saudara.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Eric, kamu udah ngerjain PR IPA belum? Kalau udah, kita tanding yuk, siapa yang dapat nilai paling tinggi!” tantang Lucia.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric dengan gemas menjawab “Terserah! Aku lagi gak niat nih, capek tanding terus”.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Ayo, anak-anak, duduk semua! Ada pengumuman penting dari pihak sekolah!” teriak Bu Guru yang baru saja masuk ke kelas. Setelah semua murid duduk, Bu Guru pun mengutarakan maksudnya </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Anak-anak, untuk menyambut hari ulang tahun sekolah ini, kalian para siswa siswi kelas 1 SMP akan mengadakan acara. Untuk kelas kita, Ibu usulkan Festival Olahraga, ada yang punya usul lain?” jelas Bu Guru. Setelah menunggu beberapa saat, Bu Guu bicara lagi.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN"><span> </span>“Sepertinya semua setuju, ya? Baiklah, kalau begitu usulan kelas kita kepada Kepala Sekolah adalah mengadakan Festival Olahraga, dan untuk ketua panitia mungkin Eric saja ya? Yang lain bagaimana? Setuju semuanya?”. “Seetujuuuu!!!!!!!!!!”</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric dan Lucia yang jago di bidang olahraga pun senang. Lucia langsung menghampiri Eric yang sedang melamun. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Ketua! Jangan melamun terus dong! Kita harus menyusun rencana untuk melaksanakan Festival Olahraga nanti. Dan aku mau, di festival nanti ada pertandingan basket, baseball, sepak bola dan lomba lari. Kurasa cukup segitu saja. Atau ada yang mau ditambahkan?” ujar Lucia panjang lebar. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Tidak ada respon dari Eric. Lucia yang sedang panas-panasnya, langsung membentak Eric. “Ketua bodoh! Dari tadi usul wakilnya gak pernah ditanggapin! Ketua apaan nih? Masa’ harus digetok dulu sih, kepalanya biar nyadar?”. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric yang sedang bingung, kaget mendengar perkataan Lucia. Dan terjadilah adu mulut antara mereka berdua. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Kamu tuh gak punya pengertian apa?! Aku tuh lagi pusing tau! Gak perlu teriak-teriak di dekat aku! Terserah kamu aja deh, mau festival apa dan lomba apa! Aku lagi gak mau ambil pusing sama kamu!” teriak Eric sambil berlalu ke halaman belakang sekolah. Lucia pun mengikuti karena keheranan.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Untuk pertama kalinya Lucia melihat Eric murung. Lucia pun mengalah dan minta maaf. Setelah Eric memaafkannya, Lucia pun bertanya “Ada apa, Eric? Kok kamu murung? Mukamu kelihatan kusut tuh, belum disetrika ya?”. “iya, belum disterika, Kenapa? Kamu mau nyetrika mukaku? Memang setrikanya udah panas?” sahut Eric. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Mau saja sih aku menyetrika mukamu yang kusut itu, tapi udah dicuci belum? Kalau belum dicuci, ntar setrikaku yang rusak” canda Lucia. Mereka pun tertawa bersama.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Aku sedang kesal, nih. Habisnya ada anak kelas 2 yang nantangin aku main basket dan baseball, anaknya ada dua, waktunya bersamaan, apa yang harus ku tanggapi, ya? Basket atau baseball?” jelas anak yang sedang murung ini. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia mendengarkan dengan eksama cerita Eric yang sedang kebingungan. Dan Lucia mengungkapkan pendapatnya “Gak usah ditanggepin deh, anak kelas 2 yang galak itu, lebih baik kamu biarkan saha mereka, kalau menganggumu, pukul saja dengan jurus karatemu”. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“ Tapi kalau ku biarkan, mereka akan melukai semua anak di kelas kita, sepertinya mereka juga mengancam akan membuatku malu di depan orang banyak jika aku melapor pada guru atau kepala sekolah” ujar Eric, lesu. Lucia berpikir keras, dan akhirnya ia menemuukan sebuah ide, namun cukup gila untuk mengatakan ini adalah ide yang masuk akal. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Kedua anak kelas 2 itu kan tidak saling kenal, bagaimana kalau aku menyamar menjadi kamu, untuk mengikuti pertandingan basket, sedangkan kamu mengajak kakak kelas yang lain untuk bertanding baseball di tempat lain, jadi gak ketahuan kalau ada 2 Eric. Lagian wajah kita mirip banget, udah kayak saudara kembar, kan?” Lucia menjelaskan ide gilanya. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric yang kaget, hanya bisa mengikuti perkataan Lucia, setelah melihat Lucia mengepalkan tangannya kepada Eric. Dan tibalah hari pertandingan tersebut.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Lucia, kau beneran akan menyamar sebagai aku? Suara dan wajah kita memang mirip, tapi postur tubuh kan beda banget!” ujar Eric. Dan Eric pun mendapat satu pukulan dari Lucia. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Jangan mentang-mentang aku cewek, kamu bilang postur tubuh beda jauh dong! Aku kan sengaja pake baju yang gede, biar mirip kayak kamu, bodoh!” teriak Lucia (kata-kata kasarnya jangan ditiru, ya). </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric hanya menganga melihat Lucia memakai pakaian anak cowok. “memang iya, sih, kalau Lucia pake baju kayak gitu, beneran mirip kayak anak cowok” gumam Eric dalam hati.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia, eh maksudnya Eric ke-2 bertanding basket. Sedangkan Eric yang asli mengikuti pertandingan baseball. Dan…. “YES! Aku menang! Dengan begini penyamaranku berhasil!” teriak Lucia dalam hati. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Namun keceriaannya berubah ketika melihat sesuatu yang ganjil. Para pemain basket yang tadi, nampak berubah. “Ya ampun! Ternyata mereka perempuan! Pantas saja tadi, aku merasa kekuatan mereka hampir sama denganku. Tapi kenapa mereka menyamar menjadi laki-laki?” gumam Lucia.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Salah satu dari para perempuan itu maju dan berkata “Kami ini hanya ingin melihat, seberapa mampu anak yang bernama Eric, yang katanya jago main basket, kami hanya ingin menguji, seberapa besar nyali Eric untuk mengahadapi lawan yang senior”. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Kami juga ingin melihat, apa reaksinya ketika dia tahu bahwa lawannya adalah perempuan, tapi ternyata, yang datang malah temannnya, perempuan lagi! kau takkan bisa menipu mata kami dengan penampilan seperti itu, sebab tetap saja postur tubuh kalian berbeda, tega sekali si Eric itu, menyuruh perempuan untuk menggantikannya” lanjut mereka.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Eric bukan orang seperti itu, lagi pula aku yang ingin menggantikannya, karena dia juga ada pertandingan dengan anak kelas 2 dalam bidang baseball, lagian kalian kakak kelas yang tidak ada kerjaan malah menganggu anak kelas 1. anak cowok lagi. kalau anak cewek sih gak apa” ujarku. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“kalau kalian mau membukikan perkataanku, datang saja ke lapangan taman baseball di dekat sini, kalian akan melihat, Eric yang asli berjuang demi teman-teman sekelasnya!” teriak Lucia, panjang lebar sambil lari ke lapangan baseball. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Terpaksa kakak kelas tadi mengikuti Lucia untuk membuktikan perkataan Lucia. Salah seorang dari mereka mengikuti Lucia untuk mencari satu kepastian yang berbeda dari teman-temannya.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Eric!!! Kamu menang kan?” teriak Lucia dari jauh. Eric memalingkan pandangannya ke arah Lucia yang beru saja sampai di lapangan. Eric ikut berteriak “Ya! Aku menang melawan mereka dengan tim baseball dadakan yang kubuat sendiri! Kamu sendiri menang tidak?”. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Ya! Aku menang melawan kakak kelas yang ternyata perempuan” ujar Lucia. Eric yang sudah mendekat ke arah Lucia terkejut. “Jadi kakak ini pacarnya ketua tim lawanku? Tadi aku memukul bola dan mengenai kepalanya. Saat pingsan ia mengigau tentang basket dan seorang gadis berambut coklat panjang bernama Karina” jelas Eric kepada kakak kelas yang tadi bicara dengan Lucia.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Ya! Kami hanya ingin menguji persahabatan kalian yang sudah terjalin sejak kecil. Jangan sampai berujung buruk seperti aku dan Ben yang tadi Eric buat pingsan”.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia dan Eric heran…</span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Kami mendengar ada anak kelas<span> </span>yang bersahabat baik sejak kecil dan kulihat kalian sangat akrab. Kami ingin menguji keakraban kalian sampai dimana. Aku yang menyusun rencana ini agar kalian tidak kehilangan sahabat seperti aku dan Ben yang khilangan sahabat baik kami karena mereka salah paham” ujar Karina panjang lebar.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Tak apa, Kak. Kami sangat senang atas perhatiannya. Aku dan Eric juga minta maaf karena telah membuat kakak dan pacar kakak kesusahan. Karena rencana kak Karina dan Kak Ben, kami jadi saling tolong menolong. Tapi darimana kakak tahu, kalau kami sdang bertengkar?” tanya Lucia. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Aku tahu dari teman sekelas kalian. Katanya kalian sedang bertengkar untuk menentukan cabang olahraga di festival nanti, kalian saling berselisih pendapat lagi dan akhirnya beretengkar sungguhan, padahal biasanya kalian hanya bertengkar canda kan?”jelas Kak Karina. Lucia hanya mengangguk.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Sejak saat itu, Lucia dan Eric tidak pernah bertengkar lagi. mereka kini selalu berependapat sama, kalau pun berebeda pendapat, mereka akan menggunakan akal untuk menyatukan pendapat masing-masing.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Mereka pun sering bermain bersama Kak Karina dan Kak Ben ketika hari libur. Bahan kalau mau ada ulangan atau ujian, mereka berempat belajar bersama. Lucia dan Eric pun mengerti artinya persahabatan sejati. Yaitu saling adanya toleransi. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Mereka yang dulunya bersahabat namun selalu bertengkar, kini menjadi bersahabat dengan bertengkar sebatas candaan belaka… Sadar, mereka sudah sadar…</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Festival Olahraga pun dimulai. segala susunan acara yang kami buat berjalan dengan sangat lancar. semua siswa bersenang-senang mengikuti berbagai perlombaan. ada juga yang membuka stand untuk berjualan. pokoknya, acar Festival Olahraga SMP Tunas Bangsa sukses besar!!</span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Persahabatan itu merupakan hal terindah yang bisa dimiliki siapapun… dan kita yang memlikinya, bersyukurlah… kini aku pun akan menjaga persahabatanku dengan sahabat-sahabatku yang tersayang…..</span></div></div>kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-49869163114957664442011-02-14T20:38:00.001-08:002011-02-14T20:38:51.262-08:00ARTI PERSAHABATAN<div class="entry"> <div class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="IN">“Ayo, dong!! Kalau tak cepat kita bisa terlambat!”teriak Lucia kepada temannya, Eric. “Iya, tunggu bentar, tali sepatuku lepas, lagian kamu juga yang salah, bangun kok jam 6?” jawab Eric. Lucia malas menjelaskan, jadi ia hanya diam dan mendengus kesal. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Jangan banyak tanya, aku begadang ngerjain PR, tau!”jelas Lucia. Dan Eric pun selesai mengikat tali sepatunya yang lepas. Mereka berdua lari ke sekolah, dan sampai tepat sebelum bel berbunyi.</span><span lang="IN"> <span id="more-41"></span></span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Untung enggak terlambat, kalau terlambat, bisa-bisa kita dimarahi guru piket yang galak itu!” ujar Lucia, lega. Eric hanya manggut-manggut, dia sedang memperhatikan teman baiknya sejak kecil itu.</span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Bagi Eric, Lucia sudah seperti saudaranya. Setiap hari pergi dan pulang sekolah bersama, belajar bersama. Tapi mereka tetap saja sering bertengkar karena masalah sepele. Dan biasanya Eric yang mengalah. Sebab dia tahu sifatnya Lucia, keras kepala namun baik hati dan bisa diandalkan.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Bel sekolah berbunyi, menandakan seluruh siswa SMP Tunas Bangsa dipersilahkan pulang, kecuali yang ada kegiatan ekskul di sekolah. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia dan Eric mengikuti ekskul Karate yang diadakan setiap hari Rabu sepulang sekolah. Lucia dan Eric sama hebatnya, sudah hampir mencapai “sabuk hitam” yang menjadi impian mereka. Guru pembina sangat salut pada mereka atas prestasi tersebut. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Pulang bareng lagi kan, Lucia?” tanya Eric. Lucia mengangguk sambil memukul pundak Eric. Eric langsung mengerti, itu artinya Lucia minta tunggu sebentar, kalau bukan ke toilet ya, mau jajan dulu. Setelah Lucia kembali, mereka pulang. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Rumah mereka bersebelahan, kedua orangtua mereka sudah berteman akrab. Ayah Lucia dan ayah Eric adalah rekan kerja, sedangkan kedu ibu mereka adalah teman sejak SD yang bertemu kembali ketika Eric pindah rumah ketika masih TK. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia mempunyai cita-cita, yaitu menjadi orang yang berguna untuk orang lain. Dia ingin menjadi dokter gigi. Sedangkan Eric, mempunyai cita-cita menjadi dokter anak, atau guru olahraga. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Ya, Eric memang senang pada kekuatan fisik. Sedangkan Lucia menyukai fisik dan ilmu pengetahuan. Mereka menjadi saingan di kelas. Dalam pelajaran, mencari teman, bahkan dalam kekuaan fisik. Tapi sebenarnya, mereka saling menyayangi seperti saudara.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Eric, kamu udah ngerjain PR IPA belum? Kalau udah, kita tanding yuk, siapa yang dapat nilai paling tinggi!” tantang Lucia.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric dengan gemas menjawab “Terserah! Aku lagi gak niat nih, capek tanding terus”.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Ayo, anak-anak, duduk semua! Ada pengumuman penting dari pihak sekolah!” teriak Bu Guru yang baru saja masuk ke kelas. Setelah semua murid duduk, Bu Guru pun mengutarakan maksudnya </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Anak-anak, untuk menyambut hari ulang tahun sekolah ini, kalian para siswa siswi kelas 1 SMP akan mengadakan acara. Untuk kelas kita, Ibu usulkan Festival Olahraga, ada yang punya usul lain?” jelas Bu Guru. Setelah menunggu beberapa saat, Bu Guu bicara lagi.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN"><span> </span>“Sepertinya semua setuju, ya? Baiklah, kalau begitu usulan kelas kita kepada Kepala Sekolah adalah mengadakan Festival Olahraga, dan untuk ketua panitia mungkin Eric saja ya? Yang lain bagaimana? Setuju semuanya?”. “Seetujuuuu!!!!!!!!!!”</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric dan Lucia yang jago di bidang olahraga pun senang. Lucia langsung menghampiri Eric yang sedang melamun. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Ketua! Jangan melamun terus dong! Kita harus menyusun rencana untuk melaksanakan Festival Olahraga nanti. Dan aku mau, di festival nanti ada pertandingan basket, baseball, sepak bola dan lomba lari. Kurasa cukup segitu saja. Atau ada yang mau ditambahkan?” ujar Lucia panjang lebar. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Tidak ada respon dari Eric. Lucia yang sedang panas-panasnya, langsung membentak Eric. “Ketua bodoh! Dari tadi usul wakilnya gak pernah ditanggapin! Ketua apaan nih? Masa’ harus digetok dulu sih, kepalanya biar nyadar?”. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric yang sedang bingung, kaget mendengar perkataan Lucia. Dan terjadilah adu mulut antara mereka berdua. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Kamu tuh gak punya pengertian apa?! Aku tuh lagi pusing tau! Gak perlu teriak-teriak di dekat aku! Terserah kamu aja deh, mau festival apa dan lomba apa! Aku lagi gak mau ambil pusing sama kamu!” teriak Eric sambil berlalu ke halaman belakang sekolah. Lucia pun mengikuti karena keheranan.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Untuk pertama kalinya Lucia melihat Eric murung. Lucia pun mengalah dan minta maaf. Setelah Eric memaafkannya, Lucia pun bertanya “Ada apa, Eric? Kok kamu murung? Mukamu kelihatan kusut tuh, belum disetrika ya?”. “iya, belum disterika, Kenapa? Kamu mau nyetrika mukaku? Memang setrikanya udah panas?” sahut Eric. </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Mau saja sih aku menyetrika mukamu yang kusut itu, tapi udah dicuci belum? Kalau belum dicuci, ntar setrikaku yang rusak” canda Lucia. Mereka pun tertawa bersama.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Aku sedang kesal, nih. Habisnya ada anak kelas 2 yang nantangin aku main basket dan baseball, anaknya ada dua, waktunya bersamaan, apa yang harus ku tanggapi, ya? Basket atau baseball?” jelas anak yang sedang murung ini. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia mendengarkan dengan eksama cerita Eric yang sedang kebingungan. Dan Lucia mengungkapkan pendapatnya “Gak usah ditanggepin deh, anak kelas 2 yang galak itu, lebih baik kamu biarkan saha mereka, kalau menganggumu, pukul saja dengan jurus karatemu”. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“ Tapi kalau ku biarkan, mereka akan melukai semua anak di kelas kita, sepertinya mereka juga mengancam akan membuatku malu di depan orang banyak jika aku melapor pada guru atau kepala sekolah” ujar Eric, lesu. Lucia berpikir keras, dan akhirnya ia menemuukan sebuah ide, namun cukup gila untuk mengatakan ini adalah ide yang masuk akal. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Kedua anak kelas 2 itu kan tidak saling kenal, bagaimana kalau aku menyamar menjadi kamu, untuk mengikuti pertandingan basket, sedangkan kamu mengajak kakak kelas yang lain untuk bertanding baseball di tempat lain, jadi gak ketahuan kalau ada 2 Eric. Lagian wajah kita mirip banget, udah kayak saudara kembar, kan?” Lucia menjelaskan ide gilanya. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric yang kaget, hanya bisa mengikuti perkataan Lucia, setelah melihat Lucia mengepalkan tangannya kepada Eric. Dan tibalah hari pertandingan tersebut.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Lucia, kau beneran akan menyamar sebagai aku? Suara dan wajah kita memang mirip, tapi postur tubuh kan beda banget!” ujar Eric. Dan Eric pun mendapat satu pukulan dari Lucia. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Jangan mentang-mentang aku cewek, kamu bilang postur tubuh beda jauh dong! Aku kan sengaja pake baju yang gede, biar mirip kayak kamu, bodoh!” teriak Lucia (kata-kata kasarnya jangan ditiru, ya). </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Eric hanya menganga melihat Lucia memakai pakaian anak cowok. “memang iya, sih, kalau Lucia pake baju kayak gitu, beneran mirip kayak anak cowok” gumam Eric dalam hati.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia, eh maksudnya Eric ke-2 bertanding basket. Sedangkan Eric yang asli mengikuti pertandingan baseball. Dan…. “YES! Aku menang! Dengan begini penyamaranku berhasil!” teriak Lucia dalam hati. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Namun keceriaannya berubah ketika melihat sesuatu yang ganjil. Para pemain basket yang tadi, nampak berubah. “Ya ampun! Ternyata mereka perempuan! Pantas saja tadi, aku merasa kekuatan mereka hampir sama denganku. Tapi kenapa mereka menyamar menjadi laki-laki?” gumam Lucia.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Salah satu dari para perempuan itu maju dan berkata “Kami ini hanya ingin melihat, seberapa mampu anak yang bernama Eric, yang katanya jago main basket, kami hanya ingin menguji, seberapa besar nyali Eric untuk mengahadapi lawan yang senior”. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Kami juga ingin melihat, apa reaksinya ketika dia tahu bahwa lawannya adalah perempuan, tapi ternyata, yang datang malah temannnya, perempuan lagi! kau takkan bisa menipu mata kami dengan penampilan seperti itu, sebab tetap saja postur tubuh kalian berbeda, tega sekali si Eric itu, menyuruh perempuan untuk menggantikannya” lanjut mereka.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Eric bukan orang seperti itu, lagi pula aku yang ingin menggantikannya, karena dia juga ada pertandingan dengan anak kelas 2 dalam bidang baseball, lagian kalian kakak kelas yang tidak ada kerjaan malah menganggu anak kelas 1. anak cowok lagi. kalau anak cewek sih gak apa” ujarku. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“kalau kalian mau membukikan perkataanku, datang saja ke lapangan taman baseball di dekat sini, kalian akan melihat, Eric yang asli berjuang demi teman-teman sekelasnya!” teriak Lucia, panjang lebar sambil lari ke lapangan baseball. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Terpaksa kakak kelas tadi mengikuti Lucia untuk membuktikan perkataan Lucia. Salah seorang dari mereka mengikuti Lucia untuk mencari satu kepastian yang berbeda dari teman-temannya.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Eric!!! Kamu menang kan?” teriak Lucia dari jauh. Eric memalingkan pandangannya ke arah Lucia yang beru saja sampai di lapangan. Eric ikut berteriak “Ya! Aku menang melawan mereka dengan tim baseball dadakan yang kubuat sendiri! Kamu sendiri menang tidak?”. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Ya! Aku menang melawan kakak kelas yang ternyata perempuan” ujar Lucia. Eric yang sudah mendekat ke arah Lucia terkejut. “Jadi kakak ini pacarnya ketua tim lawanku? Tadi aku memukul bola dan mengenai kepalanya. Saat pingsan ia mengigau tentang basket dan seorang gadis berambut coklat panjang bernama Karina” jelas Eric kepada kakak kelas yang tadi bicara dengan Lucia.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Ya! Kami hanya ingin menguji persahabatan kalian yang sudah terjalin sejak kecil. Jangan sampai berujung buruk seperti aku dan Ben yang tadi Eric buat pingsan”.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Lucia dan Eric heran…</span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Kami mendengar ada anak kelas<span> </span>yang bersahabat baik sejak kecil dan kulihat kalian sangat akrab. Kami ingin menguji keakraban kalian sampai dimana. Aku yang menyusun rencana ini agar kalian tidak kehilangan sahabat seperti aku dan Ben yang khilangan sahabat baik kami karena mereka salah paham” ujar Karina panjang lebar.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Tak apa, Kak. Kami sangat senang atas perhatiannya. Aku dan Eric juga minta maaf karena telah membuat kakak dan pacar kakak kesusahan. Karena rencana kak Karina dan Kak Ben, kami jadi saling tolong menolong. Tapi darimana kakak tahu, kalau kami sdang bertengkar?” tanya Lucia. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">“Aku tahu dari teman sekelas kalian. Katanya kalian sedang bertengkar untuk menentukan cabang olahraga di festival nanti, kalian saling berselisih pendapat lagi dan akhirnya beretengkar sungguhan, padahal biasanya kalian hanya bertengkar canda kan?”jelas Kak Karina. Lucia hanya mengangguk.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Sejak saat itu, Lucia dan Eric tidak pernah bertengkar lagi. mereka kini selalu berependapat sama, kalau pun berebeda pendapat, mereka akan menggunakan akal untuk menyatukan pendapat masing-masing.</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Mereka pun sering bermain bersama Kak Karina dan Kak Ben ketika hari libur. Bahan kalau mau ada ulangan atau ujian, mereka berempat belajar bersama. Lucia dan Eric pun mengerti artinya persahabatan sejati. Yaitu saling adanya toleransi. </span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Mereka yang dulunya bersahabat namun selalu bertengkar, kini menjadi bersahabat dengan bertengkar sebatas candaan belaka… Sadar, mereka sudah sadar…</span><span lang="IN"> </span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Festival Olahraga pun dimulai. segala susunan acara yang kami buat berjalan dengan sangat lancar. semua siswa bersenang-senang mengikuti berbagai perlombaan. ada juga yang membuka stand untuk berjualan. pokoknya, acar Festival Olahraga SMP Tunas Bangsa sukses besar!!</span></div><div class="MsoNormal"><span lang="IN">Persahabatan itu merupakan hal terindah yang bisa dimiliki siapapun… dan kita yang memlikinya, bersyukurlah… kini aku pun akan menjaga persahabatanku dengan sahabat-sahabatku yang tersayang…..</span></div></div>kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-57157041318182760632011-02-14T20:36:00.000-08:002011-02-14T20:36:05.409-08:00PERSAHABATAN YANG KALUT<img alt="" src="file:///C:/DOCUME%7E1/BLIND%27%7E1/LOCALS%7E1/Temp/moz-screenshot.png" /><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Alkisah ada persahabatan yang damai.</span></span><span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;"> Persahabatan itu hanya ada dua orang. Namanya Lina dan Rika. Dua orang itu sangat berbeda, Rika sangat kaya dan sombong. Sedangkan Lina seorang anak yang sederhana dan baik hati. Pada suatu hari Lina mengajak Rika berenang di pantai. Sesampainya di pantai dia berganti baju dan berenang. Rika menantang Lina, dia ingin berenang sampai ke bawah laut dan harus menemukan benda yang berharga. Sesampainya di bawah laut Lina dan Rika mencari benda itu, Lina di kiri dan Rika di kanan. Rina melihat banyak harta hingga matanya berkaca-kaca, begini katanya “Aku harus bisa mengalahkan Lina”. </span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Dia langsung naik ke atas, sementara Lina masih di bawah. </span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Rika menunggu Lina sampai lama dan dia berteriak, “Lina cepat naik ke atas”.</span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Lina pun menuruti perintah Rika tetapi dia belum mendapatkan benda satu pun. Sesampainya di atas Rika pura – pura bertanya seperti ini “Lina mengapa kamu tidak membawa benda berharga?”</span></span><br />
“<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Kan sudah kamu panggil”, ujar Lina. </span></span><br />
“<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Kalau begitu, aku yang jadi pemenangnya dong”, kata Rika.</span></span><br />
”<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Ya </span></span><span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">sudah kita pulang saja yuk,” ajak Lina.</span></span><br />
“<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Ayo”.</span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Sesampainya di rumah Rika, Lina tidur siang sedangkan Rika bermain dengan benda yang didapatkannya. Pada malamnya Lina dan Rika sedang menonton TV sambil mereka berbicara banyak hal disertai dengan senda gurau yang membuat persahabatan mereka sungguh indah. </span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Pada waktu Lina dan Rika sedang asyik berbicara, tiba-tiba mama Rika memberikan pop corn sambil berkata, “Anak-anak, ini untuk kalian berdua.”</span></span><br />
”<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Iya Ma,” jawab Rika. </span></span><br />
“<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Terima kasih, Tante,” ujar Lina.</span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Pada saat mama Rika pergi lalu keduanya berebutan pop corn hingga mereka bertengkar dan lupa akan makna pembicaraan yang baru saja mereka bicarakan. Mereka saling dorong- mendorong sehingga Rika terjatuh dan menangis. Datang mamanya Rika untuk mendamaikan pertengkaran mereka. </span></span><br />
“<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Rika, Lina, ayo kalian jangan bertengkar. Bertengkar bisa membuat persahabatan kalian menjadi hancur serta saling marah. Marah itu teman setan. Kalian tidak mau jadi teman setan, kan?” mama Rika menasehati keduanya. </span></span><br />
“<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Tidak mau, Ma. Tapi Lina yang nakal mendorong saya hingga terjatuh,” Rika berkata sembari terisak tangis. </span></span><br />
“<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Saya ju</span></span><span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">ga tidak mau jadi teman setan, Tante,” Lina turut berbicara.”Saya tidak sengaja mendorongnya,” tambah Lina seolah bersalah. </span></span><br />
“<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Ya sudah, Mama tidak membela siapa-siapa. Siapa yang mau minta maaf lebih dulu disayang Tuhan,” kata mama Rika dengan bijaksana. </span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Rika yang sombong tetap bersikap dengan wajah jahat. Dia tidak mau meminta maaf karena merasa tidak bersalah sama sekali. Lina yang baik pada awalnya juga tidak mau meminta maaf namun setelah mama Rika banyak menasehati mereka dengan kalimat yang baik dan bijaksana, akhirnya Lina mengalah demi nilai persahabatan mereka agar tidak hancur. </span></span><br />
“<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Rik,maafkan saya,” dengan tulus Lina mengulurkan tangannya pertanda ingin minta maaf. </span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Rika diam. Dia memandang wajah Lina. Tangannya menerima uluran tangan Lina sembari berkata, “Sama-sama. Kita harus berjanji tidak bertengkar lagi dan tetap menjaga persahabatan indah kita,” Rika menerima uluran Lina. </span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Lina dan Rika berpelukan. Senyum hadir mewarnai hati mereka dengan bahagia. </span></span><br />
<span style="font-family: Times New Roman,serif;"><span style="font-size: small;">Hari-hari yang indah telah dilewati. Begitu manis persahabatan dua anak yang berbeda sikap namun tetap bisa menjaga arti persahabatan yang indah. </span></span>kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-57897028677979420162011-02-14T20:31:00.001-08:002011-02-14T20:31:32.944-08:00PERSAHABATANNYADingin menggigit. Bumi Allah basah menggigil. Pepohonan meringis tertutup kabut tipis. Rumah-rumah monyong memperlihatkan kelesuannya karena telah terpukul hujan seharian. Aneka sampah : plastik, daun, ranting tua, batang pohon, lumpur, mengapung di jalanan terbawa oleh air dari selokan. Hujan lebat sejak pagi, baru reda selepas Isya. Lampu-lampu lima watt kerlap-kerlip enggan menyinari kegelapan. Tapi langit cerah bertabur gemintang. Sebuah meteor melintas melepaskan semburannya di langit kelam. Setelah hujan seharian. Memang, jika dipikirkan lebih mendalam, bagi orang yang mau berpikir jernih sebentar saja, betapa, alam selalu tampak indah dalam keadaan apa pun.<br />
<span id="more-295"></span><br />
Dua orang lelaki, petugas ronda, Sur dan Yos duduk-duduk di tepi pos ronda. Di depan pos ronda api berkobar menari, membakar dingin dengan hangatnya. Di pinggirnya, tergolek jagung bakar yang masih mengepulkan asap. Juga ada ubi bakar. Mereka begitu lepas mengunyah makanan yang biasa di makan oleh para petugas ronda malam. Dua gelas kopi panas membunuh kantuk yang suntuk. Mereka masih berada di dalam balutan sarung murung karena basah oleh kelembaban.<br />
Selidik punya selidik, mereka sedang membicarakan Roy, seorang calon wali kota.<br />
“Betapa, kita sangat mendambakan terpilihnya seorang pemimpin yang benar-benar pemimpin.” Kata Sur.<br />
“Hhh… Betapa, kita tidak akan menemukannya. Mulut sering berbeda dengan tingkah. Betapa, kita telah banyak keliru dalam menilai seseorang…”<br />
“Tapi… Roy lain, kawan.”<br />
“Lain?”<br />
“Ia teman kita. Pernah satu kampung dengan kita. Satu permainan ketika masih kecil. Ah, beruntung sekali, ia punya orang tua kaya raya, dikuliahkan, dan sekarang… berani mencalonkan diri menjadi walikota. Bukankah Kita sering mendengar dan membaca berita di koran-koran, ia selalu basah kuyup kehujanan, membawa beberapa bungkus sembako yang akan dibagikan kepada orang-orang kurang mampu?. Ia sungguh calon walikota yang pantas kita pilih, betul?”<br />
“Ha..ha..ha.. kenapa pula si Roy berani mencalonkan diri menjadi walikota. Yang aku khawatirkan bukan dia, tapi istrinya. “<br />
“Heh, kamu terlalu khawatir, kawan. Zaman sudah berubah. Wanita-wanita sudah modern!”<br />
“Ayo kita keliling dulu. Cuaca seperti ini bisa dimanfaatkan oleh maling sialan!”<br />
Lantas, mereka berkeliling patroli ke pinggiran perkampungan. Sepanjang keliling Yos memukul kentongan dengan irama dan ritme yang sama. Mereka juga berbincang macam-macam. Sur menganggap pemerintah sering memperlihatkan tindakan-tindakan aneh, bodoh dan membodohkan, juga mengada-ada.<br />
“Apa benar, seperti itu, kawan?” Tanya Yos.<br />
“Buka mata, dong!” Sur mendelik. “Jangan sok bodoh. Pemerintah telah menjadi orang yang merasa paling benar. Setuju? Tempo hari, rumah kita ditempeli nomor, harus bayar tujuh ribu, gila bukan? Siapa yang suruh? Tidak ada undang-undangnya itu…”<br />
“Tapi… kau membayarnya, bukan?”<br />
Sur mengangguk. Cemberut.<br />
“Ha..ha..ha..!”<br />
“Ha..ha..ha..!”<br />
“Kenapa..?!”<br />
“Tentang ketololan kita..”<br />
“Ha..ha..ha.. Aku berutang kepadamu, kawan.”<br />
“Tentang?!”<br />
“Kejujuran… Kejujuran itu…”<br />
“Heh, berapa rupiah akan kamu bayar?”<br />
“Aku akan membayarnya dengan kepercayaan. Percayalah kepadaku, tidak akan kuceritakan obrolan kita ini kepada Pak Lurah juga kepada para pegawai kelurahan lainnya. Kamu aman, kawan!”<br />
Anda pasti bisa menerka. seketika juga tubuh Sur yang besar dan gagah itu mengecil, kepalanya menunduk lesu, wajahnya perot tiada ampun. Beberapa menit lalu, ia yang tampak gagah berani itu telah berubah menjadi hewan dungu, mengibas-ngibaskan tangan tak karuan. Betapa… sebuah kepercayaan telah menikam dirinya.<br />
“Aaku…Ppercaya…K..kepadamu, kawan!” Ucap Sur rintih, terbata-bata.<br />
***<br />
“Ayo Roy, lemparkan bolanya!” anak kecil itu basah kuyup. Bajunya penuh lumpur.<br />
“Ini Sur!” Roy melemparkan bola ke arah Sur. Ditengah guyuran hujan, Sur menggiring bola. Lawan-lawanya lebih kecil ukuran badannya, tak berani menjegalnya dari depan. Ia tinggal berhadapan dengan penjaga gawang lawan. Kemenangan sudah didepan mata. Ketika bola akan ditendang, seorang pemain lawan menjegal Sur dari belakang. Berani betul dia! Pikir Sur. Ia jatuh telungkup diatas lapangan merah yang tergenang air.<br />
“Kau curang!” Roy dan kawan-kawannya menghampiri si penjengal. Mereka mendorongnya. Terjadinya keributan kecil. Beberapa penonton merasa terusik.<br />
“Mau berkelahi? Jangan disini, sana diatas ring tinju!” Bentak Pak Siru, wasit yang meminpin pertandingan bola sepak. Anak-anak takut kepadanya, ia seorang tentara. “Ayo lanjutkan!”<br />
“Kita dirugikan!” Kata Roy seusai pertandingan.<br />
“Dasar Pak Siru, berat sebelah!” Kata teman-temannya.<br />
“Pantas saja berat sebelah, dia kan pamannya si Bun.”<br />
“O, pantas si Bun itu berani mengganjalku.”<br />
Mereka membersihkan diri di kolam milik Wak Haji Kusmin. Pikir mereka, Wak Haji Kusmin yang galak itu mana berani hujan-hujanan mengejar mereka. Tangan jahil anak-anak pun menyambara beberapa buah jambu kluthuk di pinggir kolam. Air kolam semakin keruh. Mereka mandi sambil salto-salto. Esoknya, Wak Haji Kusmin memberitahukan perbuatan anak-anak usil itu kepada orang tua mereka. Roy dijewer telinganya oleh bapaknya. Sur dipukul kakinya. Semua mendapat balasan yang setimpal atas perbuatanya.<br />
***<br />
Sudah pasti dia akan selalu mengingatku! Pikir Sur. Mana mungkin si Roy melupakan masa kecilnya. Dia sering tidur bersamaku. Aku begitu yakin, dia akan selalu mengingatku, bahkan bisa jadi selalu mengenang masa kecil itu.<br />
Sur bergegas memotong jalan. Langit sudah mulai memperlihatkan kesedihannya. Di dalam batok kepalanya tersimpan Mun, istrinya yang dirawat di rumah sakit. Butuh biaya sekitar empat juta, Mun harus dioperasi, tumor menyerang payudaranya. Kambing peliharaannya ia jual, tapi terlalu murah untuk biaya operasi. Ia sempat meminta bantuan kepada Yos. Apa boleh dikata, kondisi Yos akhir-akhir ini sedang pailit. Sudah dua minggu pabrik batakonya tidak berproduksi. Yos selalu menggunakan uangnya untuk mencicil kreditan motor.<br />
Yang ada dalam pikiran Sur adalah Roy, teman kecilnya yang telah menjadi seorang walikota.<br />
Ah, mana mungkin si Roy melupakan teman baiknya. Tapi… Bagaimana kalau dia telah lupa? Tidak… dia bukan pelupa! Sur memastikan.<br />
Di depan rumah dinas ia tertegun. Keberanian itu mulai luntur. Ia takut sekedar untuk menapaki halamannya sekali pun. Jangan-jangan… dia sudah tidak mengenalku? Bukankah sudah sekitan lama aku tidak bertemu dengannya, sejak dia pindah ke Jakarta? Sur gamang. Tapi, istriku?<br />
Kakinya menginjak halaman rumah penuh keraguan. Hari itu telah sore. Halaman rumah dinas begitu asri dengan beberapa bunga warna-warni. Sebuah mobil mewah mengkilap menertawakan sikap Sur. Beberapa menit lamanya, Sur tertegun di depan pintu. Ia takut sekedar untuk mengetuknya.<br />
Lebih baik aku urungkan saja! Batin Sur. Tapi ia mengetuk pintu juga, pelan sekali, tanpa ritme yang pasti, tangan Sur penuh gemetaran.<br />
Seorang lelaki, tua, tapi wajahnya sopan menandakan bahwa ia seorang halus, tidak senang berdebat, membuka pintu.<br />
“Ada apa, pak?”<br />
“Pak walikota ada?” Di dalam hatinya Sur mengharapkan… Roy tidak ada.<br />
“O, ayo silahkan masuk, pak!” orang itu membimbing Sur memasuki rumah dinas. “Tunggu sebentar, saya akan panggil dulu bapaknya!”<br />
Betapa besar ruangan dinas. Perabotan lengkap, tertata secara apik dan bersih. Tidak ada sebutir debu pun menempel. Sur… begitu kecil didalamnya.<br />
***<br />
“Pakai saja pensilku, Sur!” kata Roy sambil memberikan sebuah pensil.<br />
Tanpa pikir panjang Sur langsung menyambarnya. Sebentar lagi bel tanda masuk akan berbunyi. Ulangan umum siap mereka hadapi.<br />
Di hari perpisahan kelas Sur baru bisa mengembalikan pensil milik Roy.<br />
“Ini pensilmu. Maafkan, aku baru bisa mengembalikannya hari ini!”<br />
“Kamu ini… ada-ada saja.” Mereka berangkulan. “Terima kasih Sur. Selama ini kita sudah saling memperhatikan…”<br />
“Selanjutnya, kamu mau kemana, Roy?”<br />
“Aku akan pergi ke Jakarta, tinggal bersama kakak. Melanjutkan sekolah disana.”<br />
“Wuihh… hebat kamu ini Roy. Kakakmu kerja kantoran, ya?”<br />
“Entahlah.” Roy menggeleng. “Kamu sendiri, bagaimana?”<br />
“Aku rasa kemampuan orang uaku sudah cukup menyekolahkan aku sampai SMP ini. Tapi… siapa tahu, bukankah manusia selalu memiliki rencana?!”<br />
Sejak saat itu mereka berpisah. Tidak pernah bertemu lagi.<br />
***<br />
Roy didampingi oleh seorang wanita berjalan agak lambat. Ia memakai kimono. Wajahnya terlihat mulai kusut. Tampaknya kelelahan. Ada rasa kantuk terpancar di kedua kelopak matanya.<br />
Sudah tiga puluh tahun lebih Roy! Pikir Sur.<br />
Roy bersama istrinya duduk di atas sofa berhadapan dengan Sur.<br />
“Ada keperluan apa, pak. Sore-sore begini menemui saya?” Tanya Roy sambil merentangkan tangannya ke sandaran sofa.<br />
“Roy… aku mau minta bantuan!” Bisik Sur dalam hati. Tapi ia tidak sanggup mengucapkannya. Ada istri Roy. “Ssaya mau menjual sebidang tanah, pak wali!” Itu keluar dari mulutnya. Hhh… benar juga, kau sudah tidak mengenali aku lagi Roy. Memang sudah terlalu lama. Tiga puluh tahun lebih, sejak perpisahan itu. Segalanya telah berubah! Pikir Sur.<br />
“Ha..ha..ha.. pak..pak.. ada-ada saja, bapak ini!” Roy melirik kepada istrinya. “Mah, tolong ambilkan dompet bapak di kamar..!” istrinya bergerak. Sedangkan Roy menatap wajah Sur. Ia melirik-lirik, kemudian berkata, “Ha..ha..ha.. sudah tiga puluh tahun lebih ya, Sur?”<br />
“Apa?!” Sur kaget.<br />
“Ah, kau mulai pikun rupanya..” kata Roy kereng. “Sur.. Sur… kamu masih seperti dulu. Dasar kamu ini!” Roy menepuk bahu Sur.<br />
O, Tuhan ternyata dia masih mengenaliku. Gumam Sur dalam hati.<br />
Istri Roy datang.<br />
“Mau kamu jual berapa sebidang tanah itu, pak?” Tanya Roy seketika wajahnya berubah.<br />
“Bukan itu maksud kedatanganku ke sini, Roy..” Sur tidak mengucapkannya, ia menatap istri Roy, ia tidak mau mengecewakan Roy.<br />
“Sepuluh are, pak!”<br />
“Ya, sudah. Besok salah seorang pegawaiku akan datang ke rumahmu. Hmm… sepuluh juta, bagaimana? Dan ini uang mukanya, dua juta rupiah. Cukup kan?” Roy memberikan uang kepada Sur. “Ayo mah!” Roy dan istrinya meninggalkan Sur, hilang di balik pintu. Ketika Sur masih duduk melongo sambil memegang dua gepok uang, masing-masing sebesar satu juta.<br />
Sur meninggalkan rumah dinas, lesu, ia mengusap wajah, sampai beberapa kali.<br />
Esok harinya, istri Sur jadi di operasi. Sebidang tanah, tabungan di masa depan itu telah dilunasi oleh salah seorang pegawai Roy. Ditangannya, Sur memegang uang sisa operasi sebanyak enam juta.<br />
Malamnya, Yos datang ke rumah Sur mau meminta bantuan. Yos perlu tambahan modal untuk mengembalikan kegiatan perusahaannya, memproduksi batako. Uang, sebesar lima juta rupiah. Sur memberikannya kepada Yos. Tidak… aku tidak mau kehilangan segalanya. Minimal persahabatanku dengan Yos…! Pikir Sur.<br />
“Ini ambil… Kamu merupakan hartaku ,kawan!”<br />
Yos mengambil uang yang tergeletak di atas meja.<br />
” Hmm… betapa sulitnya bagi kita hanya sekedar untuk memiliki pemimpin yang benar-benar pemimpin, ya?” Kata Yos.<br />
” Ya… tapi Roy, lain kawan!”<br />
” Lain?”<br />
” Dia sahabat kita, sejak kecil. Jangan pernah melupakan itu!”kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-52412540073661576402011-02-14T20:29:00.001-08:002011-02-14T20:29:00.211-08:00SAHABATKU<h3 class="post-title entry-title"> CERPEN SEDIH(Arti Persahabatan) </h3><div class="post-header"> </div><span style="color: navy; font-family: Verdana;"><b><span style="color: #66cc66; font-family: Verdana;"><b> Misha sinkap kembali tabir ingatannya. Sharon. Manis nama itu, semanis orangnya. Dialah kawan karib Misha yang selalu diingatannya. Sudah enam tahun mereka mengenali antara satu sama lain. Kegembiraan dan keperitan hidup di alam remaja mereka melalui bersama. Tetapi semua itu hanya tinggal kenangan sahaja. Misha kehilangan seorang sahabat yang tidak ada kalang-gantinya.<br />
<br />
Peristiwa itu berlaku dua tahun yang lalu. Sewaktu itu mereka sedang berada di kantin sekolah. Misha sedang marahkan Sharon kerana mengambil pena kesukaannya tanpa izinya dan menghilangkannya.<br />
<br />
Apabila Misha bertanya, dia hanya berkata yang dia akan menggantikannya. Misha tidak mahu dia menggantikannya. Kerana pena yang hilangtu berlainan dengan pena yang akan diganti oleh Sharon. Pena yang hilang itu adalah hadiah daripada Sharon sewaktu mereka pertama kali menjadi sepasang kawan karib.<br />
<br />
"Aku tak mahu kau menggantikannya! Pena yang hilangtu berharga bagiku! Misha memarahi Sharon." " Selagi kau tak jumpa penatu, selagi itulah aku tak akan bercakap dengan kau!" Marahnya Misha pada Sharon. Meja kantintu di hentaknya dengan kuat hingga terkejut Sharon. Misha yang mukanya memang kemerah-merahan, bila marah bertambahlah merahlah mukanya. Sharon dengan keadaan sedih dan terkejut hanya berdiamkan diri lalu beredar dari situ. Misha tahu Sharon berasa sedih mendengar kata-katanya itu. Misha tidak berniat hendak melukainya tetapi waktu itu dia terlalu marah dan tanpa dia sedari, mutiara jernih membasahi pipinya.<br />
<br />
"Sudah beberapa hari Sharon tidak datang ke sekolah. Aku merasa risau. Adakah dia sakit? Apa yang terjadi" Berkata-kata Misha seorang diri. Benak fikirannya diganggu oleh seribu satu pertanyaan "EH! Aku nak pergi kerumahnyalah" Berbisik Misha di hatinya. Tetapi niatnya berhenti di situ. Dia merasa segan. Tiba-tiba talipon dirumah Misha berbunyi "Ring,riiiiiiiing,riiiiiiiiing,riiiiiiiing"Ibu Misha yang menjawab panggilan itu."Misha, oh, Misha "Teriak ibunya. "Cepat, salin baju. Kita pergi rumah Sharon ada sesuatu berlaku. Kakaknya Sharon talipon suruh kita pergi rumahnya sekarang jugak" Suara ibu Misha tergesa-gesa menyuruh anak daranya cepat bersiap. Tiba-tiba jantung Misha bergerak laju. Tak pernah dia merasa begitu. Dia rasa tak sedap. Ini mesti ada sesuatu buruk yg berlaku. "Ya Allah, kau tenteramkanlah hatiku. Apapun yang berlaku aku tahu ini semua ujianmu. Ku mohon jauhilah segala perkara yang tak baik berlaku. kau selamatkanlah sahabatku." Berdoa Misha pada Allah sepanjang perjalanannya ke rumah Sharon.<br />
<br />
<br />
Apabila tiba di sana, rumahnya dipenuhi dengan sanak -saudaranya. Misha terus menuju ke ibu Sharon dan bersalaman dengan ibunya dan bertanya apa sebenarnya yang telah berlaku. Ibunya dengan nada sedih memberitahu Misha yang Sharon dilanggar lori sewaktu menyeberang jalan berdekatan dengan sekolahnya." Dia memang tidak sihat tapi dia berdegil nak ke sekolah. Katanya nak jumpa engkau. Tapi hajatnya tak sampai. Sampai di saat dia menghembuskan nafasnya, kakaknya yang ada disisinya ternampak sampul surat masa ada dia gengam ditangannya" terisak-isak suara ibu Sharon menceritakan pada Misha sambil menghulurkan surat yang Sharon beriya-iya sangat ingin memberikannya pada sahabatnya.<br />
<br />
Didalam sampul surat itu terdapat pena kesukaanku. Disitu juga terdapat notadaripadnya.<br />
<br />
<br />
MISHA SHARMIN,<br />
AKU MINTA MAAAF KERANA MEMBUAT KAU MARAH KERANA TELAH MENGHILANGKAN PENA KESUKAANMU. SELEPAS ENGKAU MEMARAHI AKU, AKU PULANG DARI SEKOLAH SEWAKTU HUJAN LEBAT KERANA INGIN MENCARI PENAMU.DI RUMAH AKU TAK JUMPA.TAPI AKU TAK PUTUS ASA DAN CUBA MENGINGATINYA DAN AKU TERINGAT, PENATU ADA DI MEJA SCIENCE LAB . ITUPUN AGAK LAMBAT AKU INGIN KESEKOLAH KERANA BADANKU TAK SIHAT TAPI DENGAN BANTUAN SITI DIA TOLONG CARIKAN. PENATU SITI JUMPA DIBAWAH MEJAMU. TERIMA KASIH KERANA TELAH MENGHARGAI PEMBERIANKU DAN PERSAHABATAN YANG TERJALIN SELAMA SETAHUN. TERIMA KASIH SEKALI LAGI KERANA SELAMA INI MENGAJARKU TENTENG ERTI PERSAHABATAN.<br />
<br />
SHARON OSMAN.<br />
<br />
Kolam mata Misha dipenuhi mutiara jernih yang akhirnya jatuh berlinangan dengan derasnya.Kalau boleh ingin dia meraung sekuat hatinya. Ingin dia memeluk tubuh Sharon dan memohon maaf padanya tapi apakan daya semuanya dah terlambat. Mayat Sharon masih di hospital. Tiba-tiba dentuman guruh mengejutkan Misha daripada lamunan. Barulah dia sedar bahawa dia hanya mengenangkan kisah silam. Persahabatan mereka lebih berharga daripada pena itu. Misha benar-benar menyesal dengan perbuatannya. Dia berjanji tak akan membenarkan peristiwa ini berulang kembali. Semenjak itu Misha rajin bersolat dan selesai solat dia akan membaca al quran dan berdoa dan bersedekahkan ayat-ayat al quran kepada sahabatnya. Dengan cara ini sahajalah yang dapat Misha balas balik jasanya Sharon dan mengeratkan persahabatanya. Semoga dengan kalam Allah Sharon akan bahagia di alam baza</b></span></b></span>kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-41614362852009459212011-02-14T20:26:00.001-08:002011-02-14T20:26:35.368-08:00SEJARAH CERPEN<h3><span class="mw-headline" id="Asal-usul">Asal-usul</span></h3>Cerita pendek berasal-mula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti <i><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Iliad" title="Iliad">Iliad</a></i> dan <i><a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Odyssey" title="Odyssey">Odyssey</a></i> karya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Homer" title="Homer">Homer</a>. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.<br />
<a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Fabel" title="Fabel">Fabel</a>, yang umumnya berupa <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Cerita_rakyat&action=edit&redlink=1" title="Cerita rakyat (halaman belum tersedia)">cerita rakyat</a> dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon dianggap oleh sejarahwan Yunani <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Herodotus" title="Herodotus">Herodotus</a> sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang bernama <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Aesop" title="Aesop">Aesop</a> pada <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-6_SM" title="Abad ke-6 SM">abad ke-6 SM</a> (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal sebagai <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Fabel_Aesop&action=edit&redlink=1" title="Fabel Aesop (halaman belum tersedia)">Fabel Aesop</a>. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang binatang. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.<br />
Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite atau Mitos lebih mengarah pada cerita yang terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda mengandung pengertian sebagai sebuah cerita mengenai asal usul terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.<br />
Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Kekaisaran_Romawi" title="Kekaisaran Romawi">Kekaisaran Romawi</a>. Anekdot berfungsi seperti <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Perumpamaan" title="Perumpamaan">perumpamaan</a>, sebuah cerita realistis yang singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan dikumpulkan dalam <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Gesta_Romanorum&action=edit&redlink=1" title="Gesta Romanorum (halaman belum tersedia)">Gesta Romanorum</a> pada <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-13" title="Abad ke-13">abad ke-13</a> atau <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-14" title="Abad ke-14">14</a>. Anekdot tetap populer di Eropa hingga <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-18" title="Abad ke-18">abad ke-18</a>, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.<br />
Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Geoffrey_Chaucer" title="Geoffrey Chaucer">Geoffrey Chaucer</a> <i><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Canterbury_Tales&action=edit&redlink=1" title="Canterbury Tales (halaman belum tersedia)">Canterbury Tales</a></i> dan karya <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Giovanni_Boccaccio&action=edit&redlink=1" title="Giovanni Boccaccio (halaman belum tersedia)">Giovanni Boccaccio</a> <i><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Decameron&action=edit&redlink=1" title="Decameron (halaman belum tersedia)">Decameron</a></i>. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Cerita_kerangka&action=edit&redlink=1" title="Cerita kerangka (halaman belum tersedia)">cerita kerangka</a>), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-16" title="Abad ke-16">abad ke-16</a>, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah "novella" kelam yang tragis karya <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Matteo_Bandello&action=edit&redlink=1" title="Matteo Bandello (halaman belum tersedia)">Matteo Bandello</a> (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.<br />
Pada pertengahan <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-17" title="Abad ke-17">abad ke-17</a> di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Madame_de_Lafayette&action=edit&redlink=1" title="Madame de Lafayette (halaman belum tersedia)">Madame de Lafayette</a>. Pada 1690-an, <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Dongeng" title="Dongeng">dongeng-dongeng</a> tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling terkenal adalah karya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Charles_Perrault" title="Charles Perrault">Charles Perrault</a>). Munculnya terjemahan modern pertama <i><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Seribu_Satu_Malam" title="Seribu Satu Malam">Seribu Satu Malam</a></i> karya <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Antoine_Galland&action=edit&redlink=1" title="Antoine Galland (halaman belum tersedia)">Antoine Galland</a> (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12) menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Voltaire" title="Voltaire">Voltaire</a>, <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Diderot" title="Diderot">Diderot</a> dan lain-lainnya pada <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-18" title="Abad ke-18">abad ke-18</a>.<br />
<h3><span class="editsection">[<a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Cerita_pendek&action=edit&section=3" title="Sunting bagian: Cerita-cerita pendek modern">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Cerita-cerita_pendek_modern">Cerita-cerita pendek modern</span></h3>Cerita-cerita pendek modern muncul sebagai <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Genre" title="Genre">genrenya</a> sendiri pada awal <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-19" title="Abad ke-19">abad ke-19</a>. Contoh-contoh awal dari kumpulan cerita pendek termasuk <i>Dongeng-dongeng</i> <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Grimm_Bersaudara" title="Grimm Bersaudara">Grimm Bersaudara</a> (1824–1826), <i><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Evenings_on_a_Farm_Near_Dikanka&action=edit&redlink=1" title="Evenings on a Farm Near Dikanka (halaman belum tersedia)">Evenings on a Farm Near Dikanka</a></i> (1831-1832) karya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nikolai_Gogol" title="Nikolai Gogol">Nikolai Gogol</a>, <i>Tales of the Grotesque and Arabesque</i> (1836), karya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Edgar_Allan_Poe" title="Edgar Allan Poe">Edgar Allan Poe</a> dan <i>Twice Told Tales</i> (1842) karya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Nathaniel_Hawthorne" title="Nathaniel Hawthorne">Nathaniel Hawthorne</a>. Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan majalah dan jurnal melahirkan permintaan pasar yang kuat akan fiksi pendek antara 3.000 hingga 15.000 kata panjangnya. Di antara cerita-cerita pendek terkenal yang muncul pada periode ini adalah "Kamar No. 6" karya <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Anton_Chekhov" title="Anton Chekhov">Anton Chekhov</a>.<br />
Pada paruhan pertama <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_ke-20" title="Abad ke-20">abad ke-20</a>, sejumlah majalah terkemuka, seperti <i>The <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Atlantic_Monthly&action=edit&redlink=1" title="Atlantic Monthly (halaman belum tersedia)">Atlantic Monthly</a></i>, <i><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Scribner%27s&action=edit&redlink=1" title="Scribner's (halaman belum tersedia)">Scribner's</a></i>, dan <i><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=The_Saturday_Evening_Post&action=edit&redlink=1" title="The Saturday Evening Post (halaman belum tersedia)">The Saturday Evening Post</a></i>, semuanya menerbitkan cerita pendek dalam setiap terbitannya. Permintaan akan cerita-cerita pendek yang bermutu begitu besar, dan bayaran untuk cerita-cerita itu begitu tinggi, sehingga <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/F._Scott_Fitzgerald" title="F. Scott Fitzgerald">F. Scott Fitzgerald</a> berulang-ulang menulis cerita pendek untuk melunasi berbagai utangnya.<br />
Permintaan akan cerita-cerita pendek oleh majalah mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20, ketika pada 1952 majalah <i><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Life_%28majalah%29" title="Life (majalah)">Life</a></i> menerbitkan long cerita pendek Ernest Hemingway yang panjang (atau novella) <i><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Lelaki_Tua_dan_Laut" title="Lelaki Tua dan Laut">Lelaki Tua dan Laut</a></i>. Terbitan yang memuat cerita ini laku 5.300.000 eksemplar hanya dalam dua hari.<br />
Sejak itu, jumlah majalah komersial yang menerbitkan cerita-cerita pendek telah berkurang, meskipun beberapa majalah terkenal seperti <i><a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=The_New_Yorker&action=edit&redlink=1" title="The New Yorker (halaman belum tersedia)">The New Yorker</a></i> terus memuatnya. <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Majalah_sastra&action=edit&redlink=1" title="Majalah sastra (halaman belum tersedia)">Majalah sastra</a> juga memberikan tempat kepada cerita-cerita pendek. Selain itu, cerita-cerita pendek belakangan ini telah menemukan napas baru lewat penerbitan online. Cerita pendek dapat ditemukan dalam majalah online, dalam kumpulan-kumpulan yang diorganisir menurut pengarangnya ataupun temanya, dan dalam <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Blog" title="Blog">blog</a>.<br />
<h2><span class="editsection">[<a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Cerita_pendek&action=edit&section=4" title="Sunting bagian: Unsur dan ciri khas">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Unsur_dan_ciri_khas">Unsur dan ciri khas</span></h2>Cerita pendek cenderung kurang kompleks dibandingkan dengan novel. Cerita pendek biasanya memusatkan perhatian pada satu kejadian, mempunyai satu plot, setting yang tunggal, jumlah tokoh yang terbatas, mencakup jangka waktu yang singkat.<br />
Dalam bentuk-bentuk fiksi yang lebih panjang, ceritanya cenderung memuat unsur-unsur inti tertentu dari <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Struktur_dramatis&action=edit&redlink=1" title="Struktur dramatis (halaman belum tersedia)">struktur dramatis</a>: eksposisi (pengantar setting, situasi dan tokoh utamanya), komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik dan tokoh utama); komplikasi (peristiwa di dalam cerita yang memperkenalkan konflik); aksi yang meningkat, krisis (saat yang menentukan bagi si tokoh utama dan komitmen mereka terhadap suatu langkah); klimaks (titik minat tertinggi dalam pengertian konflik dan titik cerita yang mengandung aksi terbanyak atau terpenting); penyelesaian (bagian cerita di mana konflik dipecahkan); dan moralnya.<br />
Karena pendek, cerita-cerita pendek dapat memuat pola ini atau mungkin pula tidak. Sebagai contoh, cerita-cerita pendek modern hanya sesekali mengandung eksposisi. Yang lebih umum adalah awal yang mendadak, dengan cerita yang dimulai di tengah aksi. Seperti dalam cerita-cerita yang lebih panjang, plot dari cerita pendek juga mengandung klimaks, atau titik balik. Namun demikian, akhir dari banyak cerita pendek biasanya mendadak dan terbuka dan dapat mengandung (atau dapat pula tidak) pesan moral atau pelajaran praktis.<br />
Seperti banyak bentuk <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Seni" title="Seni">seni</a> manapun, ciri khas dari sebuath cerita pendek berbeda-beda menurut <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Pengarang" title="Pengarang">pengarangnya</a>.<br />
Cerpen juga memiliki [unsur intrinsik] cerpen.<br />
<h2><span class="editsection">[<a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Cerita_pendek&action=edit&section=5" title="Sunting bagian: Ukuran">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Ukuran">Ukuran</span></h2>Menetapkan apa yang memisahkan cerita pendek dari format fiksi lainnya yang lebih panjang adalah sesuatu yang problematic. Sebuah definisi klasik dari cerita pendek ialah bahwa ia harus dapat dibaca dalam waktu sekali duduk (hal ini terutama sekali diajukan dalam esai Edgar Allan Poe "<a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=The_Philosophy_of_Composition&action=edit&redlink=1" title="The Philosophy of Composition (halaman belum tersedia)">The Philosophy of Composition</a>" pada 1846). Definisi-definisi lainnya menyebutkan batas panjang fiksi dari jumlah kata-katanya, yaitu 7.500 kata. Dalam penggunaan kontemporer, istilah cerita pendek umumnya merujuk kepada karya fiksi yang panjangnya tidak lebih dari 20.000 kata dan tidak kurang dari 1.000 kata.<br />
Cerita yang pendeknya kurang dari 1.000 kata tergolong pada genre <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Fiksi_kilat&action=edit&redlink=1" title="Fiksi kilat (halaman belum tersedia)">fiksi kilat</a> (<i><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Flash_fiction" title="Flash fiction">flash fiction</a></i>). Fiksi yang melampuai batas maksimum parameter cerita pendek digolongkan ke dalam <i>novelette</i>, <i>novella</i>, atau novel.<br />
<h2><span class="editsection">[<a href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Cerita_pendek&action=edit&section=6" title="Sunting bagian: Genre">sunting</a>]</span> <span class="mw-headline" id="Genre">Genre</span></h2>Cerita pendek pada umumnya adalah suatu bentuk karangan fiksi, dan yang paling banyak diterbitkan adalah <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Fiksi" title="Fiksi">fiksi</a> seperti <a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Fiksi_ilmiah" title="Fiksi ilmiah">fiksi ilmiah</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Fiksi_horor&action=edit&redlink=1" title="Fiksi horor (halaman belum tersedia)">fiksi horor</a>, <a class="mw-redirect" href="http://id.wikipedia.org/wiki/Fiksi_detektif" title="Fiksi detektif">fiksi detektif</a>, dan lain-lain. Cerita pendek kini juga mencakup bentuk <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Nonfiksi&action=edit&redlink=1" title="Nonfiksi (halaman belum tersedia)">nonfiksi</a> seperti <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Catatan_perjalanan&action=edit&redlink=1" title="Catatan perjalanan (halaman belum tersedia)">catatan perjalanan</a>, <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Prosa_liris&action=edit&redlink=1" title="Prosa liris (halaman belum tersedia)">prosa liris</a> dan varian-varian <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sastra_pasca-modern&action=edit&redlink=1" title="Sastra pasca-modern (halaman belum tersedia)">pasca modern</a> serta non-fiksi seperti fikto-kritis atau <a class="new" href="http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Jurnalisme_baru&action=edit&redlink=1" title="Jurnalisme baru (halaman belum tersedia)">jurnalisme baru</a>.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-88407907677560432682011-02-14T20:24:00.000-08:002011-02-14T20:24:14.906-08:00RAMUAN BERKHASIATTerdengar gelak tawa kakek dan neneknya. Tapi Yogi tidak ikut tertawa. Ia tetap serius. Dari balik pintu ia merekam semua percakapan kakek dan nenek. Telinganya didekatkan daun pintu, agar suara kakek dan nenek yang mulai tua terdengar jelas. Yogi benar-benar tidak ingin ada sepatah kata pun yang terlewat. Sesekali kepalanya mengangguk-angguk. Tetapi kadang telinganya dipaksa untuk tegak keika suara kakek dan nenek tidak terdengar jelas.<br />
Esok hari sepulang sekolah, teman-teman Yogi berkumpul dan bersiap ke rumah Mia.<br />
“Gi! Ke mana? Nggak ikut ke rumah Mia?”<br />
Yogi mengelus botaknya beberapa kali. Dengan santai ia melangkah dan bersiul-siul.<br />
“Buat apa ke rumah Mia?” Tangannya berkacak pinggang memandang teman-temannya.<br />
“Ya, belajar dong! Besok kan, ujian matematika. Banyakk rumus yang harus dihafal, lo!”<br />
“Kalian saja yang belajar, aku tidak perlu melakukannya.”<br />
“Kok bisa begitu?”<br />
“Tentu bisa, karena aku telah mendapatkan resep mujarab dari kakekku.”<br />
“Resep, apa sih?” Tanya Mia penasaran.<br />
“Resep agar sukses ujian.”<br />
“Alaa…ah, paling juga disuruh belajar.”<br />
“Wah, kalian salah. Pokoknya ini rahasia!” jawab Yogi sambil mengerling genit.<br />
“Dasar pelit! “ Mia mengomel sebal.<br />
“Jangan-jangan kakeknya Yogi dukun.” Komentar Anton.<br />
“Ha…ha…ha… dipanggil aja Mbah dukun.” Jaka tertawa terbahak-bahak.<br />
“Jangan sembarangan, ya! Kita lihat saja besok.” Yogi pergi sambil menggerutu sepanjang jalan menuju rumah.<br />
Malam telah tiba. Yogi segera mempersiapkan keperluannya. Catatan matematika, segelas air putih, sesendok gula dan sedikit garam. Dengan hati-hati tangannya membakar lembar demi lembar catatan matematikanya. Abu bakaran ditampung di piring palstik yang diambilnya dari dapur. Beberapa lembar catatannya terbakar. Dengan hati-hati tangan Yogi memasukkan abu ke dalam gelas sedikit demi sedikit.<br />
“Yogi.. Sedang apa di kamar, Nak? Kok ada bau benda terbakar dari kamarmu.” Teriak Ibu dari ruang tengah.<br />
Yogi terperanjat. Dia mendekat ke pintu, mengamati lubang kunci dengan seksama. Ia memastikan pintu kamarnya telah terkunci.<br />
“Tidak apa-apa kok, Bu. Yogi hanya mempersiapkan untuk ujian besok.” Yogi pun melanjutkan pekerjaannya. Diaduknya larutan abu yang diberi gula dann garam dengan hati-hati. Ia tidak ingin orang lain mengetahui apa yang sedang dilakukannya di kamar.<br />
“Huek..kk!” Yogi berlari ke jendela, memuntahkan isi mulutnya.<br />
“Ternyata rasanya tidak enak. Bagaimana Kakek dulu meminumnya, ya?” di pandanginya air keruh yang mengisi setengah gelas. Yogi membayangkan dirinya akan menjadi bahan olok-olok teman-temannya jika tidak bisa mengerjakan ujian.<br />
Dengan mata terpejam dia paksa meminumnya sekali lagi.<br />
“Huek…kk!.. Huek..kkk!!”<br />
“Yogi..” Tok..tok…tok.. Suara Ibu di depan pintu. “Ada apa,, Nak?”<br />
Uhuk..kk! Uhuk…k! Yogi terbatuk-batuk.<br />
“Yogi hanya kesedak, Bu.”<br />
“Buka pintunya, Ibu buatkan susu hangat untukmu.” Yogi terkesiap. Segera ia sembunyikan gelas yang berisi ramuan ke dalam lemari buku. Dengan wajah dibuat setenang mungkin ia membukakan pintu untuk ibunya.<br />
“Benar kamu tidak apa-apa?”<br />
Yogi menggeleng. Ibu menaruh segelas susu di meja belajarnya. Yogi was-was, takut ibunya menemukan gelas yang disembunyikan.<br />
“Kakek, di mana?”<br />
“Ada di kamarnya. Kenapa?”<br />
“Enggak, kok Yogi tidak mendengar suaranya.” Tak lama kemudian Ibu Yogi meninggalkan kamar. Yogi mengambil gelas yang disembunyikan di kolong tempat tidur. Diamatinya gelas itu lama-lama.<br />
Kuteruskan, nggak ya? Tanya Yogi dalam hati. Yogi mengelus botaknya berkali-kali. Diambilnya sisa catatan yang belum dibakar. Begitu banyak rumus yang harus dihafalkan. Ah, daripada susah-susah menghafal, mending kuteruskan minum ramuannya.<br />
Kali ini Yogi menyiapkan segelas air putih yang baru diambilnya dari ruang makan. Yogi mencoba meminum lagi ramuan ajaibnya.<br />
“Huekk..k!! Huekk…k!!” Kembali Yogi mual. Dia segera berlari ke jendela dan memuntahkan ramuannya. Dengan cepat tangannya mengambil air putih dan meminumnya.<br />
“Aku benar-benar tak dapat meminumnya.” Yogi mulai pasrah. Wajahnya agak pucat. Kepalanya pusing.<br />
“Aha..! Bukankah kakek dulu juga merasa pusing dan mual? Artinya ramuan ini mulai bekerja.” Yogi sedikit gembira mengingat perkataan kakeknya. Ia pun memilih tidur dengan harapan besok pagi semua rumus yang diminumnya sudah melekat di kepalanya.<br />
* * * *<br />
Jam setengah tujuh pagi. Yogi masih tidur di kamarnya. Berkali-kali ibunya mengetuk pintu. Tapi tak ada jawaban. Dengan sedikit khawatir, tangan ibu Yogi mencoba menarik handel pintu.<br />
Klek. Pintu terbuka. Rupanya Yogi lupa mengunci pintunya setelah mengambil air putih tadi malam. Ibu Yogi memegang keningnya. Panas. Rupanya Yogi demam.<br />
Yogi membuka matanya dengan berat.<br />
“Kamu sakit, Nak?”<br />
“Kepalaku pusing, Bu. Aku juga kedinginan.”<br />
“Kalau begitu, jangan masuk sekolah dulu. Istirahat di rumah saja.”<br />
“Tapi hari ini Yogi ujian, Bu.”<br />
“Nanti Ibu telepon ke sekolah, agar boleh mengikuti ujian susulan.”<br />
Yogi hanya bisa pasrah.<br />
“Ibu telepon ke gurumu, ya.” Yogi mengangguk. Sebelum ibunya keluar Yogi memanggil.<br />
“Bu, tolong panggilkan Kakek, ya.” Ibu Yogi mengangguk dan pergi meninggalkan kamarnya. Tak lama kemudian Kakek telah muncul di depan pintu kamar Yogi.<br />
“Aduh Yogi, mau ujian kok sakit.” Kakek mendekat dan duduk di tepi dipan. Kakek Yogi melihat isi kamar. Matanya langsung tertuju pada gelas yang berisi cairan gelap.<br />
“Yogi minum, kopi?”<br />
Kepala Yogi menggeleng.<br />
Kakek melangkah mendekat meja dan mengangkat gelas. Diciumnya isi gelas denngan hati-hati.<br />
“Kamu membuat rauan ini?”<br />
Yogi mengangguk pelan.<br />
“Siapa yang mengajari?” Tanya Kakek bingung.<br />
Dengan wajah murung Yogi menjawab.<br />
“Dua hari yang lalu aku mendengar Kakek sedang bercerita tentangramuan ajaib kepada nenek. Makanya aku mencobanya.”<br />
“Ha..haa..Haa. Ooh.. itu rupanya penyebabnya. Makanya sekarang Yogi sakit.”<br />
“Tapi Kakek dulu juga sakit kan setelah minum ramuan itu?”<br />
“Ya. Kakek langsung sakit.”<br />
“Dan Kakek jadi pintar matematika, kan?”<br />
“Waduh! Pasti kau tidak mendengarkan dengan lengkap cerita kakek waktu itu. Setelah minum ramuan itu, kakek masih ikut ujian. Dan hasilnya, kakek dapat nilai tiga!.”<br />
“Ha??! Tiga?” Yogi tidak percaya mendengarnya. “Lo, bukankah kakek pandai matematika?”<br />
“Ya, karena setelah itu Kakek rajin belajar agar semua rumus matematika dapat melekat di kepala. Bukan dengan meminum rumus-rumus itu.”<br />
Yogi semakin lunglai. Karena ia berharap dapat pandai matematika tanpa harus susah-susah belajar.<br />
“Yogi ingin menghafal rumus-rumus matematika?”<br />
“Tentu saja.”<br />
“Kalau begitu,, salin semua rumus di bukumu. Lalu tempelkan rumus-rumus itu di dinding kamar, di kamar mandi, dan bawalah kemanapun kau pergi. Dan bacalah jika senggang. Kakek yakin kau akan dengan mudah menghafalnya.”<br />
“Baiklah. Aku akan mencobanya.”<br />
“Ingat, Yogi. Tidak ada jalan pintas untuk pintar. Semua harus dimulai dengan usaha dan kerja keras. Sekarang istirahat dulu.”<br />
Yogi pun mengerti, kalau ingin pintar ia harus belajar, bukan dengan minum ramuan ajaibkekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-64049995112508902062011-02-14T20:23:00.001-08:002011-02-14T20:23:18.880-08:00SELEMBAR GOCENGAnak dalam gendongan Sri belum diam. Semakin Sri berusaha menenangkannya, tangis anak itu semakin pecah. Sri mulai kuwalahan untuk membujuknya.<br />
“Cup-cup, Nak. Sebentar lagi Bapak datang.” Bujuk Sri sambil menimang-nimang dalam gendongan.<br />
“Mungkin dia lapar, Sri.”<br />
“Mungkin iya, Mbak.”<br />
“Tadi anakmu sudah makan belum ?”<br />
“Belum.”<br />
“Kalau begitu cepat kasih dia makan.” <br />
Sri tersenyum. Menelan ludah yang terasa kian hambar di lidah yang sejak kemarin belum kemasukan makanan. Tawar dan getir adalah hiasan hidupnya.<br />
“Kok malah senyam-senyum. Wong anak sedang rewel kok dibiarkan.”<br />
“Anu, Mbak. Saya belum masak hari ini.” Jawab Sri dengan suara tercekat.<br />
Kening Wati berlipat seketika. Matanya menatap jam dinding yang sedang bergerak menunju angka sepuluh.<br />
“Sampai siang begini belum masak? Kenapa?”<br />
“Ehm… “ Sri agak canggug meneruskan kalimatnya. “Beras kami habis.”<br />
Wati mulai menangkap permasalahan Sri, yang sudah dianggapnya sebagai adik sendiri. Nasibnya dengan Sri tidak jauh berbeda. Hanya saja Wati belum dikaruniai anak meskipun telah menikah hampir lima tahun.<br />
“Kalau habis, kenapa tidak beli Sri?” Pancing Wati.<br />
“Sebenarnya pengen beli, Mbak. Tapi… kami sedang tidak punya uang.” Wajah Sri menunduk, menyembunyikan rasa sedih yang telah menjadi teman dalam kesehariannya. Sri tahu, tak ada gunanya berpura-pura di depan Wati. Wanita itu tahu persis bagaimana kehidupannya. Hanya saja Sri tidak enak hati kalau dengan keterusterangannya membuat Wati iba dan ikut bingung mencari jalan keluarnya. Bagaimanapun Sri juga menyadari kalau nasib Wati juga tidak lebih baik darinya. Mereka sama-sama perantau dari kampung yang ingin merubah nasib di kota seperti Surabaya. Hanya saja rumah petak mereka letaknya agak berjauhan.<br />
“Kami menunggu Bapaknya Dian pulang.” Ucapnya lirih. Tangan kusamnya mengelus kening Dian, anak semata wayangnya yang telah tenang. Sebenarnya Sri tak yakin dengan ucapannya. Pekerjaan suaminya yang hanya penarik becak tidak bisa diharapkan setiap saat. Padahal tiap hari mereka harus memberi setoran kepada juragan becak. Sejak kemarin ia dan suaminya belum makan. Hanya minum air putih yang diberi sedikit gula. Segenggam beras yang tersisa dia buat bubur untuk anaknya. Dan hari ini Sri benar-benar tidak memliki apa-apa. Hanya beberapa sendok gula di toples. Sri dan suaminya memilih mengalah. Air gula yang ada mereka berikan untuk Dian.<br />
“Sri.” Sapa Wati lembut. “Kamu tidak biasa hutang?”<br />
Sri menggeleng lemah. Ia begitu memegang erat wejangan suaminya agar tidak membiasakan berhutang. Hutang hanyalah jerat yang bisa mencekik setiap saat. Apalagi tak ada yang bisa dijadikan jaminan untuk membayar jika si peminjam suatu saat datang menagih. Itulah prinsip yang ditekankan suaminya.<br />
Wati trenyuh. Perasaan iba muncul tanpa bisa dicegahnya. Apalagi saat matanya menatap Dian yang telah pulas dalam gendongan Sri. Dian begitu pucat. Wajahnya tirus dengan perut yang agak membuncit. Kulitnya bersisik kasar karena kurang vitamin. Tanda-tanda kekurangan gizi tampak jelas di tubuhnya. Hening. Semua tenggelam dalam angan masing-masing.<br />
“Aku ada uang lima ribu.” Wati menyodorkan selembar lima ribuan kepada Sri. “Pakailah.”<br />
Sri terkejut. Ia pandangi wajah Wati dan uang yang berada di tangannya bergantian. Ia yakin tetangganya dari kampug itu juga sedang membutuhkan uang. Suami Wati baru saja sakit. Pasti belum bisa menarik becak seperti suaminya. Apalagi saat ia teringat dengan pesan suaminya.<br />
“Jangan, Mbak. Pasti Mbak Wati juga membutuhkannya. Insyaalah saya masih bisa bertahan sampai bapaknya Dian pulang.”<br />
“Aku percaya kalian masih bisa bertahan. Tapi bagaimana dengan Dian? Dia sudah begitu kurus. Dia bisa sakit Sri. Kalau sampai itu terjadi pasti biayanya akan lebih mahal. Aku yakin kamu juga tidak tahu kapan suamimu pulang.”<br />
Sri mendesah. ibu mana yang tega anaknya sampai kekurangan gizi. Ia pun sebenarnya iba melihat nasib Dian. Ditatapnya wajah Dian yang begitu tenang. Sebutir cairan bening mengumpul memenuhi sudut-sudut matanya.<br />
“Tapi kalau uang ini aku pinjam, bagaimana dengan Mbak Wati?”<br />
“Tenang Sri. Aku biasa pinjam ke warung dekat rumah. Mas Darmin juga sudah sembuh. Insyaalah besok sudah bisa narik lagi.” Jawaban Wati tidak membuat Sri lega. Tapi Sri benar-benar tidak punya pilihan saat itu.<br />
“Terimaksih, Mbak. Nanti kalau bapaknya Dian dapat uang pasti segera kukembalikan.”<br />
“Ya sudah, cepet belanja. Aku pamit dulu. Nanti Mas Darmin bingung kalau aku tidak segera pulang.”<br />
“Iya, iya Mbak. Sekali lagi terimaksih, Mbak.”<br />
* * *<br />
Derit roda sayup terdengar. Roda yang selalu berputar meyusuri setiap jengkal jalan hidupnya. Setiap deritnya selalu meberikan harapan bagi Sri dan Yanto. Harapan itulah yang membuat mereka sanggup bertahan hidup. Ia yakin nasibnya berjalan seperti roda. Kadang dibawah, namun suatu saat roda itu pasti akan bergerak ke atas. Meskipun putaran roda kehidupan itu dirasanya berjalan sangat lambat untuk bisa mencapai puncak.. Tapi roda itu tidak boleh berhenti. Harapan dan impian telah membuat roda itu tetap berputar. Bergerak. Menggelinding. Meski perlahan.<br />
“Assalamualaikum.” Suara yang begitu dikenal muncul dari arah pintu triplek.<br />
“Wa’alikum salam.” Sri segera menyambut dan mencium tangan si empunya suara.<br />
Sri menatap wajah suaminya dengan mata berbinar. Yanto dibuat tak enak hati karenanya. Wajahnya pias melihat tatapan isrtinya.<br />
“Maafkan aku, ya.” Suara Yanto tedengar berat. “Ternyata hari ini pun aku gagal mendapatkan uang lima ribu yang kujanjikan pagi tadi.” Wajahnya menunduk, takut melihat reaksi istri tercintanya.<br />
Sri tak kaget. Ia sudah menduganya. Tangannya menggandeng tangan suaminya menuju ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat makan sekaligus ruang tidur.<br />
“Mas yanto pasti capek dan lapar. Sekarang, Mas makan dulu.” Ajak Sri lembut sambil membuka tudung nasi..<br />
Yanto terlonjak. Ia tak percaya melihat hidangan istimewa di depannya. Sebakul nasi putih yang megepul hangat, semangkuk sayur bayam dan beberapa potong tempe telah tersaji rapi di atas meja kayu yang kakinya telah lapuk.<br />
“Dari mana semua makanan ini, Sri?” Tanya yanto dengan suara gagap.<br />
“Sudahlah, Mas Yanto makan dulu. Dari kemarin sampeyan belum makan. Kalau sampe Mas Yanto sakit, kita semua akan semakin repot.” Tangan Sri telah menyendok nasi ke piring untuk Yanto. Dengan cekatan, Sri menambahkan sepotong tempe dan sesendok sayur di atasnya.<br />
“Tapi semua ini dari mana, Sri?” Tanya Yanto sekali lagi.<br />
“Saya akan cerita kalau Mas Yanto mau makan.”<br />
Yanto menurut. Dengan ragu tangannya menyendok nasi dari piring. Setelah yakin suaminya menikmati makanannya, barulah Sri bercerita.<br />
“Mas, tadi Mbak Wati sepulang mencuci dari Bu Handoyo mampir.” Sri diam sejenak. Melihat reaksi suaminya. Kemudian mengalirlah kisah hidupnya sepagi tadi sampai akhirnya semua hidangan istimewa dapat tersaji di meja makan mereka.<br />
Uhuk!Uhuk!<br />
Yanto tersedak. Buru-buru Sri menuangkan air putih ke gelas plastik yang di dekatnya.<br />
“Pelan, Mas. Nggak usah buru-buru.”<br />
Yanto diam. Menatap wajah istrinya dalam-dalam. Begitu banyak kalimat yang ingin ia ucapkan kepada istrinya. Tapi mulutnya tetap terkunci. Ia tidak pernah tega menyakiti wanita yang begitu rela menemaninya hidup menderita. Tapi Yanto sangat gusar mengingat kejadian yang dialaminya sebelum pulang ke rumah.Rasa nikmat yang baru didapatnya lenyap seketika. Menu istimewa yang ada di depannya tidak lagi menggoda selera makannya. Hambar. Itulah yang dirasakan lidahnya saat ini.<br />
“Kenapa kamu mau menerima uang dari Mbak Wati?” Jelas terdengar suara Yanto begitu berat.<br />
“Sebenarnya sudah kutolak, Mas. Tapi Mbak Wati memaksa. Ia tidak tega melihat Dian, anak kita. Aku juga tidak tega kalau sampai Dian jatuh sakit karena tidak makan apa-apa. Pasti nanti kita akan butuh uang lebih banyak untuk mengobati Dian. Akhirnya aku pun menerima uang lima ribu itu. Maafkan aku, Mas. Aku tahu Mas tidak suka hutang. Tapi kita sedang tidak punya pilihan.” Ada rasa bersalah dalam nada bicara Sri. Wajahnya menunduk. Ia pun tidak berselera untuk melanjutkan sarapan yang sekaligus juga makan siang.<br />
“Sri, sebelum pulang aku tadi mampir menjenguk Mas Darmin.Tak kulihat makanan di rumahnya. Ia sedang menunggu Mbak Wati yang meminjam uang pada Bu Handoyo setelah mencuci.” Yanto diam sejenak. Mengatr nafas yang semakin tidak teratur. “Aku semakin tidak tega saat melihat Mbak Wati diomeli pemilik warung ketika akan berhutang lagi. Apa kamu tega makan semua ini, Sri?” Yanto berdiri. Tangannya menyambar topi lusuh yang tergeletak di kursi.<br />
“Mas Yanto mau kemana?”<br />
“Keluar. Mencari uang untuk mengganti uang Mbak Wati.” Yanto melangkah tanpa menoleh ke belakang.<br />
Sri terpaku. Memandangi punggung suaminya yang basah oleh keringat. Ada perih di hatinya. Ada rasa bersalah yang begitu desak-mendesak dadanya. Sebutir bening telah menggantung di kedua sudut matanya.<br />
Ia segera bergegas membungkus semua makannnya. Tak ada cara lain. Ia harus mengantarkan makanan itu untuk Wati.<br />
“Mbak Wati, maafkan aku.” Ucap Sri hampir tak terdengar.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-41968560445266419552011-02-14T20:22:00.001-08:002011-02-14T20:22:22.350-08:00BALADA TUGAS STATISTIKNYABrakk!!…<br />
Pintu terbuka dengan keras. Sepi. Tak ada siapa-siapa di dalam. Pasti, sebab, penghuni lain sibuk dengan aktivitas di tempat kerja masing-masing. Termasuk dia, kalau saja dia tidak teringat satu hal. Sungguh dia menyesal kenapa tidak menuruti nasihat orang-orang di sekitarnya. Ah, seandainya aku memasang alarm di ponselku. Seandainya aku menuliskan di papan. Seandainya aku…<br />
Oh, mengapa aku mesti menjadi orang pelupa? Bukankah aku masih muda? Apa memang memori otakku terbatas? Aku ingat, otak punya memori yang sangat besar. Setidaknya, aku masih ingat beberapa hal yang aku lakukan di waktu kecil. Artinya, aku masih mampu merekam dengan baik kejadian 15 tahun lalu. Bukankah itu hebat. Tapi, mengapa aku lupa dengan semua tugas yang baru diberikan seminggu lalu? Orang bilang semua itu karena keteledoranku. Benarkah aku teledor?<br />
Brak!!…<br />
Nasib pintu kamar pun tak berbeda dengan pintu ruang depan. Terbuka dengan dorongan keras dan kasar, membuyarkan dialog yang berlangsung antara otak dan hatinya. Dengan napas memburu, tangannya mengobrak-abrik meja kayu penuh tumpukan kertas dan buku. Dia tak peduli dengan buku dan kertas yang barjatuhan akibat ulah kasarnya. Sesekali, matanya melirik jam di dinding kamar. Detik-detiknya terus berjalan, berputar mendorong menit demi menit terlewati. Detak jantungnya seolah ingin mengejar setiap detik yang terlewat cepat. Setiap detik yang selalu menambahkan butiran keringat di dahinya.<br />
“Ah…! Akhirnya ketemu juga.” Desisnya sedikit lega. Sedikit, sebab, waktu yang dimiliki tidak banyak. Disekanya keringat yang semakin berkilat di kening untuk mengurangi kegugupan yang terlalu lama menemani. Dipandanginya tulisan di kertas yang sedang dipegangnya. Terbayang di kertas itu seorang dosen killer berkumis lebat dengan sorot mata tajam ingin menelannya bulat-bulat. Siapa yang mau berurusan dengan dia lagi? Mengumpulkan tugas tepat waktu saja masih mendapat omelan dan sanksi kalau penulisannya tidak sesuai dengan keinginannya. Apalagi kalau telat mengumpulkan? Dan, aku? Dani mencoba mengingat-ingat. Selalu telat mengumpulkan tugas. Alasannya pun bisa ditebak oleh semua orang. LUPA!<br />
“Oh, Tuhan!” dia menepuk jidat dengan keras. Dia segera tersadar dengan masalah yang menerornya. “Bukankah semua jawaban ini ada di buku Statistika. Dan, bukuku… di mana bukuku??”<br />
Dia empaskan pantatnya di kasur. Kedua tangan pucat itu meremas-remas rambutnya dengan kuat. “Sialan si Roni!” kutuknya kesal. Dengan gusar dia menekan keypad ponsel. Mulutnya mengerucut, dahinya berkerut. Mendengarkan nada ponsel yang hanya berbunyi tut..tut…, Dicobanya sekali lagi.<br />
Tuu…ut. Tuu..ut. Tuu..ut. “Halo!? Eh, Dani. Ke mana pula kau, kok nggak nongol di kampus? Kita lagi…” Tak sempat suara di sebrang meneruskan kalimatnya.<br />
“Heh! Mana buku statistiknya! Pinjem buku jangan ngawur dong! Masak yang punya belum ngerjain tugas, masih belom dibalikin. Aku tunggu di rumah sekarang! Bawa buku statistik itu!”<br />
“Hei..! Hei..! Kapan pula aku pinjam bukumu, hah?! Melihatnya pun aku tak pernah!”<br />
“Kapan kau bilang? Siapa yang merengek-rengek minggu lalu setelah kuliah statistik berakhir? Siapa? Emang kucing?!”<br />
“Benar-benar payah kau Dan! Rupanya, kau semakin tua hingga penyakit lupamu kian parah. Ingat-ingatlah yang bener! Atau, jangan-jangan sudah saatnya kau masuk RSJ, biar sembuh. Ha ha ha… !” Klik! Sambungan diputus.<br />
Dani memandingi ponselnya kesal. Dipencetnya sekali lagi nomor Roni.<br />
Maaf, nomor yang Anda hubungi sedang… Klik! Ponsel terlempar di atas bantal. Dia rebahkan badannya. Hatinya melemparkan ratusan kutukan untuk Roni. Dani duduk di tepi dipan. Menatap meja belajarnya yang tak pernah rapi. Kertas-kertas berserakan memenuhi meja. Buku-buku tak lagi berdiri tegak karena buku di bagian tengah deretan diambil Dani. Dia pun membiarkan buku-buku di sebelahnya ambruk. Sebagian buku itu tampak hampir tidur tertumpuk buku lain di sebelah kirinya. Pasti buku yang seharusnya mengisi dan menyangga buku di sebelah kiri sangat tebal. Oh! Bukankah buku paling tebal miliknya hanya satu! Ya, hanya satu! Dan….<br />
Aha…! Aku ingat sekarang. Aku baru mengambilnya dua hari lalu. Yaitu, ketika akan mengerjakan tugas, namun gagal karena diminta Ayah untuk menemani ibu belanja. Lalu… Lalu… Aaahh! Kepalan tangannya meninju telapak tangan kiri dengan gemas.<br />
Dani mencoba mengingat siluet kejadian demi kejadian. Buntu! Dia lupa di mana meletakkan buku statistiknya. Kembali dia menatap jam dinding. Tak ada pilihan. Aku harus mengerjakannya sekarang meski tanpa buku statistik itu.<br />
Dengan gontai dia menuju meja belajar. Sedikit malas, tangannya mengumpulkan kertas yang memenuhi meja. Kertas-kertas terkumpul dan dipindahkan ke lantai pojok kamar. Dipandanginya meja yang kini bebas dari kertas. Ada perasaan nyaman. Namun, ada sesuatu yang dirasa masih kurang. Yah, mejanya belum bersih benar. Ada beberapa kertas yang terjepit antara tepi meja dengan dinding. Dani mencoba menarik beberapa kertas. Tapi, terasa sangat sulit. Dani menarik meja agar menjauh dari tembok.<br />
Brak!!.. Sebuah benda terjatuh dengan berat. Kepala Dani melongok ke bawah meja. “Yess!!.. akhirnya kutemukan buruanku.”<br />
****<br />
Suasana kampus agak lengang dari biasanya. Begitu juga kantin. Dani menyeruput juice avokad yang menjadi kesukaan. Tak banyak anak berkeliaran. Ditatapnya jam yang tergantung di dinding kantin. Masih ada seperempat jam untuk menyegarkan hari dengan segelas juice dan semilir angin yang menerobos kantin pelan-pelan.<br />
“Di sini rupanya kau, Dan.” Sebuah tepukan keras dirasakan pundak kanan Dani. Sebenarnya tanpa menoleh pun, Dani tahu siapa yang sedang berbicara. Siapa tak kenal logat batak yang medok itu?<br />
“Lo sendiri?”<br />
“Bah! Aku? Tentulah aku mau pulang. Buat apa panas-panas begini berlama-lama di kampus?”<br />
Mulut Dani melepas sedotannya perlahan.<br />
“Pulang?”<br />
Laki- laki di depannya mengangguk mantap.<br />
“Trus, tugas statitiskmu?”<br />
“Tugas statistik?” Roni berpikir sejenak. Tak lama kemudian, meledaklah tawanya.<br />
“Ha…ha…haaa…” Buru-buru mulutnya bungkam ketika beberapa pasang mata menatapnya. Atau, lebih tepat melotot ke arahnya.<br />
“Dan…Dan… tahulah aku sekarang kenapa tak masuk kuliah kau tadi. Itu juga yang membuatmu marah-marah padaku, kan?” Roni mendekatkan wajahnya yang penuh jerawat batu ke wajah Dani. Kemudian, punggung tangannya ditempelkan ke kening Dani.<br />
“Hmm… Rupanya, kau benar-benar harus ke RSJ,” ucapnya pelan. “Ingatanmu semakin payah.”<br />
“Eh, apa-apaan lo? Aku bicara soal statistik, bukan masalah penyakit lupaku! Dasar bloon!”<br />
“Ya, ya. Kau tunggu saja sampai mabok, takkan pernah Pak Naryo datang menemuimu.”<br />
“Maksudnya?”<br />
“Karena memang tugas statistik itu baru dikumpulkan minggu depan. Karena hari ini Pak Naryo masih di luar negeri. Bukankah itu yang disampaikan sebelum kuliah statistik berakhir minggu lalu. Begitu mudahnya kau melupakan itu teman?”<br />
“Jadi?”<br />
“Jadi, sebaiknya pergilah kau segera ke dokter jiwa. Ha…haa.. ha..”<br />
Roni pun berlalu meninggalkan Dani bersama juice avokadnya.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-4010817810102761592011-02-14T20:20:00.000-08:002011-02-14T20:20:06.691-08:00<blockquote>Kini, kemana pun pergi, tulang belulang anaknya itu selalu ia bawa. Semuanya bermula dari kematian sang istri. Nyawa perempuan itu habis di tangan sendiri. Ia terjun bebas dari lantai dua belas. Pikiran sehatnya tandas setelah mendapati perutnya semakin membesar, berisi benih majikannya. Pada akhirnya, perempuan itu pulang dari negeri yang jauh dengan kondisi yang tak manusiawi, dalam sebuah peti mati murahan.</blockquote>Lelaki itu tak bisa mengelak dari kenyataan yang menyakitkan ini. Serta-merta ia terhempas ke dalam duka yang nyaris tanpa ujung. Bukan semata tersebab kehilangan orang yang begitu ia cintai tapi juga sumber penghidupan. Selama ini, istrinya itu rutin mengirimkan uang asing dari negeri asing yang jika dirupiahkan, jumlahnya bisa membiayai lebih dari cukup hidupnya bersama anak semata wayang mereka.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-7739875218889517292011-02-14T20:19:00.001-08:002011-02-14T20:19:20.774-08:00PEREMPUAN TUE RENTA<blockquote>Di dalam kepalaku hidup seorang perempuan tua pemarah yang gemar menghentak-hentakkan kaki dan berteriak-teriak. Begitu tuanya, dia menyerupai seonggok pohon kering-keriput, bungkuk, dan bengkok di sana-sini dengan sudut-sudut yang janggal. Suaranya seperti derit roda kekurangan minyak. Jika dia berteriak, aku terpaksa menutup telinga. </blockquote>Dia menghuni sebuah rumah reyot dari batu tanpa jendela. Hanya ada satu pintu besi berkarat yang selalu berbunyi saat membuka dan menutup. Seluruh dinding rumah itu ditumbuhi lumut gelap yang lebat. Ulat-ulat gemuk berwarna hitam hidup dan beranak-pinak di dalamnya.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-7466730816300930862011-02-14T20:18:00.001-08:002011-02-14T20:18:21.963-08:00kain rusuh makq.<blockquote>Ada kebiasaan Ibu yang telah dilakukannya sejak menikah dengan Bapak. Ibu selalu menyimpan pakaian-pakaian yang memiliki arti begitu mendalam baginya.</blockquote>Salah satunya adalah kebaya pengantin lengkap dengan kain batik pesisiran, rapi ia simpan di dalam koper kecil usang di bawah ranjang. Setelah ijab kabul sekitar lima puluhan tahun silam, kebaya brokat putih itu dikenakan untuk kedua kalinya ketika Mbak Ratih, kakak sulung kami, bersanding dengan lelaki pilihan hatinya di pelaminan.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-11306461045467418972011-02-14T20:17:00.000-08:002011-02-14T20:17:31.324-08:00pohon yang pecah<blockquote>Perempuan berkebaya encim berwarna hijau itu menoleh kepadaku dari kursi anyaman plastiknya yang berkeriut rapuh. Tampak sekali bahwa kedatanganku telah mengalihkan pandangannya dari pohon cincau tua yang tumbuh di halaman lapang.</blockquote>Bila kupikir-pikir, keberadaan pohon itu sendiri adalah sebuah keajaiban; suatu jenis ganjil yang tumbuh di tengah berkas-berkas pepohonan karet yang tertancap kokoh di tanah pedesaan ini. Sebuah rumah antik berdinding bilik nan apik dengan sentuhan cat putih berdiri di belakangnya. Kabel-kabel menjuntai yang merepet di sela-sela atap menjadi ornamen yang cukup kontras.<br />
Aku memang berharap mendapati dirinya seperti ini. Rupanya, ia telah menempatkan kursinya dengan hati-hati di depan pohon cincau kesayangannya itu, kemudian duduk tafakur memandangi daun-daun hijaunya yang melambai lemah diterpa angin musim panas. Pikirannya tenggelam ke masa-masa silam; masa di mana akar-akar kuat pohon cincau merambat jauh dalam tanah, hingga menembus lantai tanah ruang tamu rumah. Aku ingat bahwa akar-akar mengganggu itu telah ditebas dan tanahnya diuruk rapat dengan semen, saat renovasi rumah lamakekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-6428872085427502252011-02-14T20:15:00.001-08:002011-02-14T20:15:14.290-08:00rakyat jelataSeorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.<br />
<br />
"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."<br />
<br />
Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.<br />
<br />
"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"<br />
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"<br />
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung<br />
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."<br />
Pengacara muda itu tersenyum.<br />
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."<br />
<br />
"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."<br />
<br />
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.<br />
<br />
"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."<br />
<br />
Pengacara tua itu meringis.<br />
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."<br />
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"<br />
Pengacara tua itu tertawa.<br />
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.<br />
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.<br />
<br />
"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."<br />
<br />
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.<br />
<br />
"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."<br />
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."<br />
<br />
"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.<br />
<br />
Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.<br />
<br />
Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."<br />
<br />
Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.<br />
<br />
"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."<br />
<br />
"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.<br />
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.<br />
"Bagaimana Anda tahu?"<br />
<br />
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."<br />
<br />
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.<br />
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."<br />
<br />
Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.<br />
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"<br />
"Antara lain."<br />
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."<br />
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.<br />
"Jadi langkahku sudah benar?"<br />
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.<br />
<br />
"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"<br />
"Tidak! Sama sekali tidak!"<br />
"Bukan juga karena uang?!"<br />
"Bukan!"<br />
"Lalu karena apa?"<br />
Pengacara muda itu tersenyum.<br />
"Karena aku akan membelanya."<br />
"Supaya dia menang?"<br />
<br />
"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."<br />
Pengacara tua termenung.<br />
"Apa jawabanku salah?"<br />
Orang tua itu menggeleng.<br />
<br />
"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."<br />
<br />
"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."<br />
<br />
"Tapi kamu akan menang."<br />
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."<br />
<br />
"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."<br />
<br />
Pengacara muda itu tertawa kecil.<br />
"Itu pujian atau peringatan?"<br />
"Pujian."<br />
"Asal Anda jujur saja."<br />
"Aku jujur."<br />
"Betul?"<br />
"Betul!"<br />
<br />
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.<br />
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"<br />
<br />
"Bukan! Kenapa mesti takut?!"<br />
"Mereka tidak mengancam kamu?"<br />
"Mengacam bagaimana?"<br />
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"<br />
<br />
"Tidak."<br />
Pengacara tua itu terkejut.<br />
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"<br />
"Tidak."<br />
"Wah! Itu tidak profesional!"<br />
Pengacara muda itu tertawa.<br />
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"<br />
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"<br />
Pengacara muda itu terdiam.<br />
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"<br />
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"<br />
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"<br />
Pengacara muda itu tak menjawab.<br />
"Berarti ya!"<br />
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"<br />
<br />
Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.<br />
<br />
"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."<br />
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."<br />
<br />
"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"<br />
<br />
"Betul."<br />
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.<br />
<br />
Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."<br />
<br />
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.<br />
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."<br />
<br />
Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.<br />
<br />
"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."<br />
"Tapi..."<br />
<br />
Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.<br />
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."<br />
<br />
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.<br />
<br />
"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."<br />
<br />
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.<br />
<br />
Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.<br />
<br />
"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-1926118417317991896.post-61428208580647978222011-02-14T20:11:00.001-08:002011-02-14T20:11:47.695-08:00cerita cintaKadang hal <span class="IL_AD" id="IL_AD2">yang</span> diharapkan berbenturan dengan kenyataan. <span class="IL_AD" id="IL_AD5">Orang</span> menganggapnya sebagai takdir. Di sitiulah perasaan bermakna, <span class="IL_AD" id="IL_AD12">salah</span> satunya adalah cinta. Apa yang dialami <span class="IL_AD" id="IL_AD3">Gita</span> memang biasa, terjadi pada manusia umumnya. Tetapi ini menjadi luar biasa, ketika ia merasa bahwa simpatinya sebagaimana pungguk merindukan bulan.<br />
<br />
Sudah dua minggu ia memendam seribu rasa yang membuat jantungnya berdebar kencang saat melihat sang pujaan hatinya.<br />
<br />
“Kita pilih duduk di sini aja. Ayo dong ceritain gebetan barumu,” tiba-tiba terdengan suara serak yang mengusik lamunan Gita.<br />
“Iya... Ri, mumpung kita ngumpul nih,” jawab teman Qori. Gita<br />
<br />
“Masak <span class="IL_AD" id="IL_AD9">lo main</span> rahasiaan sama geng sndiri,” tutur temannya lagi.<br />
Gita mendadak gugup. Nggak salah lagi itu Qori. Qori dari geng The SRIES, cowok yang sangat dikagumi para cewek-cewek di sekolah.<br />
<br />
Gita nyaris nggak bergerak. Mneyadari cowok tampan yang sedang ditaksirnya itu ada di meja belakangnya. Saat sedang barengan dengan teman-teman aja Gita sudah nervous .... apalagi sekarang ia sedang sendirian. Tapi untuk yang <span class="IL_AD" id="IL_AD8">satu</span> ini, rasa ingin tahunya jauh lebih besar. Dan apa tadi? Mereka lagi ngomong soal gebetannya Qori. Wah..... Wah....<br />
<br />
“Jadi bener nih, dia tinggal di <span class="IL_AD" id="IL_AD11">jalan</span> Tumbuhan?” tanya teman Qori.<br />
Deg, Gita nyaris tersentak. Bukankah itu jalan tempat ia tinggal? Jalan itukan kecil, jadi ia kenal hampir semua penghuninya. Kayaknya nggak ada yang seumuran dia, rata-rata sudah kuliah dan kerja. Rasa ingin tahunya semakin memuncak.<br />
<br />
“Iya, anak kelas satu juga. aku memang naksir dia. Soalnya dia manis banget, pintar dan baik. Pasti dong banyak saingannya. Makanya aku jaga jarak biar dia penasaran,” suara Qori terdengar riang.<br />
<br />
Jantung Gita berdegup kencang. Ia semakin yakin , selain dia ngak ada anak kelas satu SMA tinggal di jalan itu. Kalau masalah kecerdasan otak, Gita memang selalu jadi juara satu sejak cawu pertama. Semuanya klop. Mungkin yang dimaksud Qori itu dirinya?.<br />
<br />
“Wah, playboy satu ini sudah berketuk lutut. Terus kapan dong kamu nembak dia?” desak temannya.<br />
<br />
“Oh my god,” Gita nyaris menahan napas.<br />
“Eh, ngomong-ngomong siapa namanya?” tanya temannya lagi.<br />
“Gita,” jawab Qori.<br />
<br />
Kali ini Gita nyaris nggak mampu menahan diri. Ingin rasanya ia melompat dan berteriak, kalau saja nggak ingat di mana dia berada sekarang. Ini benar-benar keajaiban. Qori naksir dia. Berita ini wajib diceritakan pada sohib-sohibnya.<br />
<br />
Pukul setengah tujuh malam, semua persiapan sudah sempurna. Sekarang Qori naksir dia. Primadona sekolah itu menyukai gadis biasa seperti dia. Gita bernyanyi bahagia.<br />
“Kamu nggak sedang melamun Git?” kata Intan sambil terkikik.<br />
<br />
“Iya Git, jangan-jangan itu cuma halusinasi aja,” timpal Shafina.<br />
Gita pura-pura merengut sambil berucap “Pendengaranku masih normal dan aku nggak bakalan cerita kalau tahu reaksi kalian begini”.<br />
<br />
“Bukan begitu Git, Kalau benar Qori naksir kamu, kok bisa tenang-tenang aja sih?” kata Intan dan Shafina.<br />
<br />
Ruth mencoba menengahi. “Kan Qori sendiri yang bilang dia sengaja jaga jarak biar surprise”.<br />
“Udah deh, pokoknya mulai besok akan bakal jadi cewek paling bahagia di dunia,” ujar Gita tersenyum bahagia.<br />
<br />
Keesokan harinya, bel rumah berbunyi. Dengan ceria Gita menghambur ke pintu, tapi ternyata yang datang Kak Adi, pacarnya mbak Enes. Keduanya lalu pergi, sementara Mama dan Papanya sudah berangkat ke acara resepsi. Di rumah hanya ada Gita dan mbak Tami.<br />
<br />
Gita mulai tidang sabar. SEdari tadi sohib-sohibnya terus menelpon dan membuatnya tambah be te.<br />
<br />
“Gita bangaun! Kok ketiduran di sini?” suara Mamanya terdengar sayup. Gita membuka matanya, ternyata Mama dan Papanya sudah pulang.<br />
<br />
“O ya, Qori! Astaga, setengah sepuluh malam”Gita melonjak. Ternyata Qori tidak datang dari tadi. Gita mulai kebingungan.<br />
<br />
Gita akhirnya ikut ajakan orang tuanya untuk mencari makan malam di luar.<br />
“O ya Gita. Mama lupa cerita tentang cucunya Bu Nanda, padahal sudah sebulan lo. Kapan-kapan kamu main ke sana ya?” tiba-tiba Mamanya bercerita. Gita cuma mengangguk tanpa semangat.<br />
<br />
Ketika melewati rumah Bu Nanda, Gita melihat seorang gadis cantik lekuar dari rumah diikuti seorang cowok. “Oh my god”, Gita terkejut bukan main. Berkali-kali dikedipkan matanya, berharap yang dilihatnya itu orang lain. Tapi sia-sia, cowok itu benar-benar Qori. Mereka berdua kelihatan akrab sekali.<br />
<br />
Dengan gemetar Gita bertanya pada Mamanya, “siapa nama gadis itu Ma?<br />
“Kebetulan namanya sama dengan kamu .... Gita,” jawab Mamanya.<br />
Gita terkulai menyadari impiannya hancur oleh kebodohannya sendiri. Seharusnya ia mendengarkan ucapan sohibnya. Dan celakanya Gita terlanjur begitu berharap. Dia merasa marah, kecewa dan ... malu sekali.kekreatifan anak remajahttp://www.blogger.com/profile/01495844113958231922noreply@blogger.com0